Gemercik hujan dan sepi jalanan malam ini menemani langkah pria itu. Mataku mengikuti ke mana arah dan tujuannya. Akan kubuat kematiannya malam ini menjadi hari terindah.
Lolongan anjing dan suara gagak menjadi saksi kehadiranku, tentu ini membuktikan jika aku adalah sang penguasa alam.
Dia menghentikan langkahnya, menoleh ke arahku yang berdiam diri di sudut jalan yang gelap. Seperti dugaanku, seketika dia pun menghampiri.
"Bu Marni, sedang apa di sini?"
Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik membelakanginya, berharap dia mengikuti langkahku yang sengaja dipelankan.
"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya kembali.
Langkah ini terhenti di sebuah tempat tak berpenghuni. Gelap, serta gemercik hujan kian membasahi permukaan tanah.
"Kau sudah mencampuri urusanku, Pak tua," ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya.
"Astagfirullah hal Adzim, siapa kamu?"
Aku berbalik badan dengan memperlihatkan setengah sosokku. Mata merah, wajah bersisik, dan gigi bertaring, serentak membuatnya terperanjat. Aku memang meminjam tubuh Marni, tetapi wujud asliku tetap bisa kutampakkan dengan sesuka hati.
"Kau ... kau jelmaan siluman. Untuk apa berada di tubuh Marni?"
Aku hanya tertawa mendengar pertanyaan bodoh dari pria tua ini. "Aku ingin kau mati, karena kehadiranmu bisa menjadi penghalang untuk para pemujaku."
"Tidak semudah itu. Derajat kami lebih tinggi dari bangsa sepertimu!" serunya dengan lantang.
Aku tidak suka dengan kata-kata seperti itu. Jika memang derajatku rendah, lantas mengapa manusia macam Marni dan Darman meminta kekayaan kepadaku?
"Kau tidak takut kepadaku?" tanyaku sinis.
"Aku hanya takut kepada Allah, dia yang menciptakan manusia dan jin sepertimu." Dia semakin menantangku, dan itu membuat amarahku meledak.
Aku memajukan langkah, terlihat dia melafalkan doa. Tubuhku panas, tapi aku masih punya kekuatan dalam diri Marni. Rasa serakah, kejam, dan biadabnya membuat energi tersendiri yang mengalir begitu kuat.
Sial. Dia membuat tubuhku semakin panas dengan lantunan ayat yang ia serukan. Aku harus membuat dia tetap mati.
"Hentikan!” Atau aku akan membuat pemilik raga ini mati."
Dia tetap tak mau berhenti dan semakin memperkuat bacaannya.
"Baik, jika kau menantangku. Jangan salahkan aku jika raga yang kupinjam akan hancur berkeping-keping." Aku berlari ke arah jalan, menyusuri dedaunan yang amat rindang.
"Berhenti!”
Sepertinya dia terpengaruh dengan ucapanku. Pria sialan itu mengejarku, aku sengaja berdiam di tengah jalan menatap lurus ke depan. Suara klakson dengan lampu kendaraan itu menyorot ke arahku dan ....
'Braaakkk'
Pria itu tertabrak dan tergilas truk. Tubuhnya pun hancur.
Bodoh! Mengapa dia harus mendorong tubuh Marni dan mempersembahkan kematiannya sendiri. Bukan salahku, dia yang sudah mengundang kematian indahnya malam ini.
Sementara sopir truk itu turun dan tampak kaget dengan korban yang sudah ia tabrak, tetapi yang lebih membuatku bahagia dia kabur dan meninggalkan tanggung jawabnya. Manusia laknat.
Bau anyir darah yang indah, akan kupersembahkan untuk para pengikutku. Aku keluar dari tubuh Marni, ia pun terkulai lemas.
"Bangunlah, Marni!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
HorrorMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...