Perdebatan dengan Andi

3.3K 124 4
                                    

Aku tersenyum puas melihat kotak hitam berisi tumpukan kertas merah dan benda kuning berkilauan hasil pemujaanku malam tadi. Malam tadi Nyai memberikan nilai yang sangat fantastis, karena Mas Darman sudah mengabulkan permintaan Nyai untuk memenuhi segala hasratnya.

Cemburu, tentu saja awalnya seperti itu. Aku harus meninggalkan suamiku memadu cinta dan kasih dengan wanita lain, tetapi semua rasa itu hilang saat semua terbayar dengan hal yang sangat kucintai di dunia ini. Aku yakin, sebagai lelaki normal, Mas Darman pun tidak akan menolak dengan wujud Nyai yang cantik.
Isi kotak sedang kuhitung. Namun, suara bel terdengar berbunyi beberapa kali. Aneh, mengapa ada tamu sepagi ini. Rumah ini tak pernah terjamah oleh tamu. Keluarga kami menutup akses untuk warga untuk berkunjung kemari.

Aku segera menyimpan kotak di lemari tempat biasa, dan bergegas melangkahkan kaki ke arah pintu luar untuk melihat siapa yang berani menginjakkan kaki ke rumah ini. Aku terdiam beberapa detik, menatap seseorang yang dengan lancang tanpa undangan dan keperluan sudah berdiri di hadapanku kini.

"Ada apa? Aku tidak pernah mengundangmu, bukan?" ucapku ketus pada pria muda yang entah mengapa menjadi bayangku selama ini. Saat kehadiran dia, firasatku mengatakan jika dia akan jadi benalu dalam kehidupan kami.

"Bu, izinkan saya menjenguk Lisa," ucap Andi, wajahnya memelas penuh kekhawatiran.

"Lisa baik-baik saja. Lebih baik kamu pergi dari sini!" Aku masih berbicara dengan nada datar. Tangan ini meraih daun pintu, mencoba untuk menutupnya. Namun, Andi mendorongnya sekuat tenaga sampai tanganku tak mampu menahan.

"Apa-apaan kamu ini. Kamu sudah tidak sopan, Andi!" bentakku. Pipiku sedikit memanas menahan marah yang sudah mulai bergejolak dalam hati.

"Bu, maaf! Tapi saya serius ingin melihat keadaan Lisa. Semalam saya bermimpi bertemu dengannya. Putri Ibu dalam bahaya."

Apa maksud perkataan pria ini? "Apa maksudmu? Lisa baik-baik saja, bahkan dia sudah sadar."

"Tidak, Bu. Selama ini Lisa dalam keadaan tidak baik. Raganya memang di rumah ini, tapi sukmanya ada di tempat lain. Dia terkurung, Bu," ucapnya tertahan beberapa detik, mengatur napas. "Makhluk yang kalian puja penyebab semua ini."

"Andi! Berhenti mengoceh atau—“

"Atau saya yang akan jadi tumbal selanjutnya? Saya  tahu, Bu ...  ini nyata."

Jantungku berdetak lebih cepat. Ketakutan yang mengusik dalam hati mulai membuatku membayangkan rahasia-rahasia keluarga kami yang akan mulai terkuak oleh orang lain. Tanganku mengepal, rasanya inginku lenyapkan dia hari ini juga. Namun, aku harus bertahan sebisa mungkin. Tidak boleh ada amarah yang meledak, jika tidak dia akan lebih banyak membuka mulut.

Aku melipat tangan di dada. "Lantas, apa urusannya denganmu jika aku melakukan pemujaan. Itu bukan hakmu untuk mencampuri urusan keluarga kami." Nada bicara kuatur sedemikian rupa, ucapannya tidak boleh jadi acuan untuk memperlihatkan rasa takut.

Andi terlihat menggeleng dan tersenyum sinis. Sorot matanya tajam ke arahku, tapi sikap dingin ini tak akan kelah darinya.

"Kalian sudah salah jalan. Apa dukun yang membantumu adalah orang yang sudah kaya? Saya yakin bukan, hidupnya tetap miskin," kata-katanya terdengar lantang.

Mataku menyipit, memberi tanda jika tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. "Lalu maumu apa?" tanyaku, berharap dia segera pergi.

"Izinkan saya melihat keadaan Lisa. Setelah itu saya tidak akan mengganggu kalian lagi."

Aku menyingkir dari pintu memberikan jalan agar dia masuk. Tidak ada pilihan lain, aku tidak ingin membuat dia bicara terlalu jauh lagi. Langkah ini segera dipercepat untuk menuju kamar Lisa. Andi mengikuti dari belakang. Heran, dia mengetahui aku bersekutu dengan jin, tapi dari sikapnya tidak terlihat gentar sedikit pun. Rasa ingin tahu ini menguat, seberapa sanggup dia bertahan dan jadi benalu dalam keluargaku.

Tumbal Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang