Kematian Ibu Mertua

4.8K 158 7
                                    

Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.

Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali.

"Marni.” Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat.

"Iya, Mas?"

"Kamu kenapa?"

Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya.

"Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah kok, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja.

Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah yakin untuk menumbalkan ibunya sendiri?

"Mas, apa kamu sudah yakin?" tanyaku memberanikan diri.

"Yakin apa?"

"Yakin untuk—"

Terdengar suara Fahmi menangis dari kamar kami. Mas Darman segera berdiri dan berlalu meninggalkanku sendiri di kamar ini. Mas Darman memang sangat menyayangi Fahmi, terlebih saat aku hamil dia sangat menginginkan anak laki-laki, dan kehadiran Fahmi menjadi kebahagiaan tersendiri untuk suamiku.

Ada yang membuatku bingung kali ini. Mengapa suamiku tidak menyinggung masalah tumbal, padahal hari ini adalah penyerahan tumbal pertama kepada Nyai. Apa dia memang sudah menyerahkan segalanya kepadaku?

Ah, sial! Kepalaku kali ini berdenyut. Perutku pun terasa mual. Aku memijit kepala secara perlahan.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Darman yang baru saja kembali.

"Kepalaku pusing, Mas. Perutku mual." Aku menutup mulut, karena rasanya seperti ingin muntah.

Mas Darman memijit pundakku perlahan.

"Kamu sudah makan?" tanyanya kembali.

"Sudah, Mas. Tadi pa—“

Tiba-tiba saja perutku terasa tidak enak. Aku segera berdiri dan berlari sambil menutup mulut untuk pergi ke kamar mandi. Rasanya ingin mengeluarkan semua isi perut yang terasa begah. Namun, yang keluar hannyalah sebuah suara.

Setelah semua dirasa membaik, aku segera membasuh muka dan menatap wajah di cermin. Teringat sesuatu, jika saat ini aku sudah telat menstruasi selama satu minggu. Apa aku hamil?

"Dek, kamu baik-baik saja?" panggil Mas Darman dari balik pintu.

"Iya, Mas," jawabku dengan membuka pintu dan membiarkannya masuk.
"Kamu kenapa, Dek?"

"Aku mual, Mas. Tapi setelah kuingat lagi, sepertinya aku telat sudah satu minggu," jelasku dengan nada lesu.

"Jangan-jangan kamu hamil," ucapnya antusias. "Aku bahagia, Dek." Mas Darman memeluk tubuh mungilku dengan erat.

Hamil? Tidak mungkin rasanya. Fahmi saja masih kecil. Entah mengapa aku tidak bahagia sama sekali dengan kabar ini.

***

Jam sudah menujukan pukul 12 malam. Kami sudah mempersiapkan segalanya, bahkan aku mencampur obat tidur ke minuman Lisa agar dia terlelap dan tidak mengganggu ritual malam ini.

Sebelum masuk ke dalam ruangan ritual, aku menunggu Mas Darman di depan pintu dengan berbolak-balik ke sana dan ke mari. Ah, kenapa hatiku harus tidak yakin seperti ini.

Mas Darman datang dengan menenteng beberapa ekor ayam hitam sebagai pelengkap ritual kami malam ini. Dari wajahnya terlihat sangat datar, bahkan tak ada raut sedih akan menghadapi kenyataan jika ibunya akan pergi untuk selamanya.

"Mas, tunggu!" Aku meraih tangannya, mencegahnya untuk masuk ke dalam. "Apa kamu yakin untuk menumbalkan Ibu?"

Mas Darman mengangguk perlahan. Aku mengusap tengkuk, merasakan hawa aneh saat tatapan kami bertemu. Ah, mungkin hanya perasaan saja. Harusnya aku bahagia dengan kematian ibu mertuaku itu, bukan?

Kami masuk ke dalam untuk melaksanakan ritual. Duduk bersila di antara sesajen dengan beralaskan kain putih. Kepulan asap dari dupa dan kemenyan sudah sangat terasa.

"Fokus!” perintah Mas Darman kepadaku.

Telapak tangan saling bersatu, mata mulai terpejam dan mantra mulai terucap dari bibir. Kurasakan embusan angin menerpa ruangan membuat hawa semakin menusuk. Samar-samar terdengar suara gamelan dengan diikuti tembang yang dilantunkan Mas Darman begitu mendayu.

Wong Ayu.. (Perempuan berwajah cantik)
Netramu ngluluhake atiku (Tatapannya meluluhkan hati)
Kembang mlati rinonce ono ing sanggul (Juntaian melati pada sebuah sanggul)
Nambahing sulistiowarnane sliramu (Menambah kecantikan alam)

Sliramu sing tansah tak tresnani (Kau wanita yang kupuja)
Ngelab-ngelab salendang ijo (Bentangkan selendang hijaumu)
Sumilir ombak samodro tansah ngayubagyo sliramu (Desiran ombak memanggil namamu)
Lintang tansah mancarke pasuryanmu (Bulan purnama pancarkan auramu)

Kang kuoso ing samodro (Sang penguasa hamparan lautan)
Tansah maringi kanikmatan donyo (Berikan segala nikmat duniawi)
Mugi rawuh ing dalem dalu (Datanglah malam ini)
Kanti bayu anggowo leleno (Sampai angin membawamu pergi)

Ah, kepalaku sakit. Ini persis seperti apa yang kurasakan di pantai saat pertemuan pertama dengan Nyai. Aku harus fokus dan tidak boleh kalah, seperti apa yang dijabarkan oleh Ki Kusno. Kembali kulafalkan mantra. Suara gamelan itu pergi menjauh seiring berganti dengan suara kereta kencana. Ya, Nyai kian mendekat. Aku tersenyum tipis. Dendamku akan terbalas malam ini.

Embusan angin terasa kian mengencang dibarengi dengan burung gagak seolah bersorak dengan kedatangan sang penguasa bumi dan lautan. Cahaya kedatangan Nyai yang sangat kurindukan sudah mulai menunjukkan biasnya.

Tawa menggelegar dari Nyai mengawali kedatangannya. Aku membuka mata perlahan untuk menyambut Nyai Gayatri. Namun, kali ini sosok Nyai datang dengan wujud yang berbeda. Bukan Nyai berwajah cantik dan tegas, melainkan sosok makhluk yang mengerikan dengan badan setengah ular dan lidah yang menjulur keluar. Matanya merah menyala, wajahnya berwarna hijau penuh dengan sisik ular.

Badanku bergetar menyaksikan rupa yang tak pernah kutemui sebelumnya. Tidak! Aku tidak boleh takut.

Bagaimana pun wujudnya dia adalah harta karunku, dia adalah tambang emas yang harus selalu kujaga keberadaannya.

Nyai melata mengibaskan ekornya yang besar dan panjang. Sesekali ia mengelilingi aku dan Mas Darman. Aku mencoba mengatur napas untuk menenangkan diri dan menolak perasaan takut ini. Namun, berbeda dengan Mas Darman yang terlihat dingin dan datar. Ekspresinya sangat sulit ditebak.

Nyai mengarah ke pintu keluar, seketika pintu terbuka dengan sendirinya, bahkan suara dari pintu membuatku sedikit terperanjat. Angin masih enggan meninggalkan kami. Semua benda yang ada di hadapanku bergetar seperti ada gempa yang mengguncang. Mata ini mengarah ke segala arah menyaksikan kejadian yang tidak masuk akal. Perlahan semua kembali ke semula. Angin pun pergi dengan perlahan, bahkan hawa aneh yang selalu Nyai bawa kian menghilang.

"Marni ... Darman!"

Itu suara Nyai, tapi tak ada sosoknya di kamar ini. Aku dan Mas Darman saling bertatapan dan menggeleng perlahan.

"Sepeninggalku bukalah kotak hitam dalam lemari. Itu sebagai tanda pengabdian kalian kepadaku," ucapnya diikuti dengan tawa yang memekakkan telinga dan redup seketika.

Aku memastikan bahwa Nyai sudah tidak berada di sini. Aku segera berlari ke arah lemari yang dimaksud oleh Nyai. Mata ini terbelalak menyaksikan kotak berisi dengan uang dan bongkahan emas yang tak terhingga.

"Mas, kita bertambah kaya," ucapku puas. Mas Darman hanya tersenyum tipis dan mengangguk perlahan.

"Aku kaya!” teriakku diikuti dengan tawa bahagia.

Tunggu! Ibu, aku harus melihat keadaan ibu. Aku segera membereskan kotak hitam itu dan mengunci lemari.

"Mas, kita lihat keadaan ibu!"
Mas Darman masih enggan menjawab. Aku hanya menggeleng perlahan dengan perubahan sikapnya. Aku segera berlari ke kamar ibu. Namun, aku mendapati sesuatu yang membuat jantung ini berdegup kencang dan tubuhku melemas seketika. Bukan tentang keadaan ibu. Ibu sudah terbujur kaku dengan mata yang terbuka dan lidah terjulur ke luar. Semua ini tentang sosok yang menangisi ibu di sampingnya. Ia menghampiri dan memelukku erat.

"Ibu meninggal, Dek. Ibu meninggal," ucapnya tersedu-sedu. Mas Darman? Lalu, siapa yang melakukan ritual bersamaku?


Tumbal Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang