Hari ini perasaan begitu gelisah. Entah mengapa hati ini selalu mencemaskan Lisa. Aku sudah berjanji untuk menyelamatkannya, tapi bapak dan ibu terlanjur mencegah karena mereka tak ingin melihat anaknya masuk terlalu jauh di kehidupan Pak Darman. Katanya itu terlalu berbahaya.
Belum lagi kemarin kehidupanku sedikit terusik oleh sosok yang berusaha mengganggu. Entah dalam keadaan tidur, bahkan shalat sekalipun. Sampai bapak memanggil Kyai Ilham karena melihatku tidak sadarkan diri dan meracau tidak jelas.
Saat itu aku seperti dibawa pada tempat yang begitu asing dan gelap, bukan tempat Lisa yang pernah kutemui. Namun, tempat berbeda seperti genangan lumpur di tengah hutan belantara. Untung saja bacaan ayat suci Al-Quran dari ibu, bapak dan Kyai Ilham bisa memberikan setitik cahaya hingga aku bisa kembali. Sejak saat itulah orang tua melarang untuk menemui keluarga Pak Darman, terutama ibu yang terlihat menangis saat aku bangun.
Aku hanya bisa menarik napas berat, mengingat kejadian yang membuat ibu dan bapak begitu rapuh. Sampai kesempatanku menyelamatkan Lisa pun pudar seketika.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, hampir lupa jika ibu dan bapak sedang tidak ada di rumah. Aku bergegas melangkah ke luar kamar menuju arah pintu. Paling hanya keluarga pasien yang meminta untuk ke rumahnya.
"Bu Marni?" Mata ini membulat saat sosok Bu Marni dengan tegas menatap penuh amarah. Entah mengapa hati ini memiliki firasat tidak baik dengan kedatangannya. Aku menatap sekitar dalam kegelapan malam. Dia datang sendiri, tapi ini belum terlalu malam karena waktu masih menunjukkan pukul sembilan.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu? Apa Ibu mau masuk?" tanyaku pada dia yang masih menatapku sinis.
"Andi ... aku hanya ingin ...," ucapan itu terhenti. Tangan yang sedari tadi dilipat ke belakang, kini ia tarik ke depan. Terlihat jemari itu menggenggam sebilah pisau yang begitu mengilat.
Astagfirullah hal Adzim, apa yang akan dia lakukan? Semoga Allah melindungiku dari kejahatan jin dan manusia. Aku memundurkan langkah, berjaga-jaga jika dia akan menyakiti dengan membabi buta.
"Bu, istigfar!”
Dia melangkah dengan menyodorkan pisau ke arahku. Aku tetap bersikap tenang dengan mundur mengikuti langkahnya.
"Kau sudah membuat nyawa anak-anakku terancam, Andi," ucapnya dengan nada bergetar.
Aku yakin dalam hati Bu Marni tidak akan tega melukai siapa pun seperti ini, terlihat dari cara memegang pisau dengan tangan yang bergetar hebat. Ya, dia pun ketakutan.
"Apa maksud Ibu? Kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik, Bu. Bahkan jika Ibu mengizinkan ... saya akan membantu kalian keluar dari pusaran mematikan ini." Aku berusaha bicara dengan nada lemah, dengan harapan bisa membuka mata dan hatinya.
"Tidak ... tujuanmu hanya untuk membuat keluargaku miskin lagi, bukan?"
Aku menggeleng perlahan sembari tetap berusaha menjaga jarak. Kalimat takbir tetap dilantunkan dalam hati, dan meneguhkan keyakinan jika pertolongan Allah lebih dahsyat dari segalanya.
"Demi Allah, Bu. Saya ikhlas membantu Ibu keluar dari persekutuan ini. Karena bagaimanapun, tanpa alasan semua akan berakhir tragis. Ibu bukan hanya kehilangan harta, tapi nyawa semua keluarga."
"Hentikan ocehanmu, atau aku tak segan menusukkan pisau ini ... bahkan menguliti tubuhmu!" ancamnya membuat jantungku berdetak lebih cepat. Namun, ketakutan ini berusaha kutepis dengan kalimat istigfar yang beberapa kali keluar dari mulutku.
"Bu, cobalah istigfar ... kita bicarakan semua dengan baik-baik," ucapku diikuti dengan menelan ludah beberapa kali. Aku harus mencari titik lemahnya, agar tidak kalah cepat dengan tangan yang bisa menusukkan benda tajam itu kapan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
HorrorMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...