Malam ini, aku sudah berada di rumah Mas Suryo. Sambutan keluarga yang hangat kami terima dengan baik, bahkan di meja sudah disediakan beberapa gelas minuman dan sekedar camilan.
"Kalian pindah ke mana? Sudah merasa kaya sepertinya, bahkan sudah sepekan baru berkunjung kemari," ucap pria berkepala plontos itu. Mimik wajah sinis yang paling tak kusukai.
"Ada, Mas. Kami—“
"Kami pindah ke rumah yang lebih layak," sambungku memotong ucapan Mas Darman.
Aku memang melarang suamiku untuk pamit saat pindah rumah dulu. Aku malas, karena Mas Suryo selalu memperlihatkan ketidaksukaannya pada keluarga kami. Apa lagi jika dia tahu keadaan keluargaku sekarang.
"Bagaimana dukun yang sudah kutunjukkan pada kalian, apa sudah kalian datangi? Jika sudah, tentunya kalian sudah kaya, bukan?"
Pertanyaan yang dibarengi dengan seringaian itu membuatku muak. Sikap sombongnya sampai saat ini masih terlihat jelas, padahal dia bukan orang berada. Dia hanya bekerja di perkebunan dan dipercaya sebagai mandor. Aku dan Mas Darman hanya bungkam menyaksikan kata-kata sombong dari mulutnya. Dia berceloteh banyak dengan apa yang sudah didapati selama ia bekerja.
"Lalu, kapan kalian mau bayar hutang? Eh, aku lupa kalo kalian pasti tidak sanggup untuk membayar. Buat makan saja susah."
Dia tertawa terbahak-bahak, sementara aku merogoh uang dari tas dan melemparnya ke atas meja. Tawanya terhenti seketika, dan melirik amplop cokelat yang sudah berada di depan mata. Dia mengambilnya dan tersenyum sinis, aku tahu apa yang sedang dipikirkan lelaki sialan itu.
"Jadi, kalian sudah kaya?"
"Iya, kami sudah tidak miskin lagi, bahkan uangmu tidak ada apa-apanya untuk kami," jawabku dengan nada ketus.
"Kamu jangan seperti itu, Dek," kata Mas Darman sedikit berbisik. Dia pasti merasa tidak enak dengan kalimat ketus yang kugunakan.
"Kamu memang tidak becus jadi kepala keluarga, Darman. Sampai kamu harus menyembah siluman hanya untuk mendapatkan benda ini," tuturnya sembari menghitung uang yang sudah kuberikan.
Manusia tidak tahu malu. Masih saja ia tidak bisa menyaring ucapannya. Mas Darman pun hanya bisa diam, dia memang selalu mengalah jika saudaranya ini menghina sesuka hati. Dulu, aku hanya bisa menangis saat dia meminjamkan kami uang dengan cara melemparnya. Kenangan itu tidak akan pernah lupa sampai kapan pun.
Mas Suryo pun adalah salah satu orang yang dekat dengan ibu. Namun, saat kami menyuruh seseorang memberi tahu ibu meninggal, dia enggan datang dengan alasan sibuk. Manusia paling laknat itu bukan aku, tapi dia.
"Ada maksud apa mereka ke mari, Mas? Mau pinjam uang lagi?" tanya Mbak Nuri, istri Mas Suryo yang baru datang dari dapur. Dia wanita yang sering mempengaruhi ibu untuk membenciku.
"Jangan begitu, Dek. Mereka ke sini buat bayar hutang," sambung Mas Suryo kepada istrinya yang sudah duduk, dan meraih uang dalam amplop.
"Sudah kaya ternyata." Mbak Nuri terdengar menyindir kami.
Aku dan Mas Darman saling melirik. Dari raut wajahnya ia sudah terlihat kesal, tangannya pun dikepal. Aku tersenyum bahagia, akan lebih mudah rasanya membunuh keluarga ini tanpa harus meminta atau membujuk adiknya sendiri. Tangan ini kuusapkan pada bahu Mas Darman, mencoba menenangkan dia agar tak tersulut emosi dengan mudah. Balas dendam harus dilakukan dengan perlahan, agar kematian yang indah bisa disaksikan dengan bahagia.
"Mas ... Mbak, aku pamit dulu. Fahmi dan Lisa di rumah. Kebetulan Lisa sedang sakit, itu pun terpaksa kami titipkan pada tetangga." Aku sudah tidak betah berada di sini, terlebih bayangan masa lalu itu selalu terbayang kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
HorrorMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...