Aku berjalan ke dalam rumah dengan gontai. Langkah kaki ini rasanya sudah tak pantas untuk menginjak tanah. Dalam pikiran hanya menari-nari sebuah kesalahan yang membuat keluargaku hancur. Anak laki-laki yang paling kusayangi harus menjadi korban keegoisan dan ketamakan kami.
"Pak ... Bu, saya izin pulang, jika kalian butuh bantuan segera hubungi saya,” ucap Andi yang membuatku menoleh ke arahnya.
"Masuk dulu! Saya ingin membicarakan sesuatu," kataku dengan nada lesu. Dari tatapan itu, sepertinya Andi tidak tega melihat keadaanku seperti ini. Hampa, kosong, tanpa arah dan tujuan hidup. Semuanya seolah sirna dengan kepergian Fahmi.
"Baik, Pak. Saya akan temani Bapak mengobrol sebentar." Aku tersenyum lemah mendengar jawaban itu. Aku menganggukkan kepala memberi tanda agar pria itu mengikuti langkahku untuk duduk di ruang tamu.
Sementara Marni terlihat tidak peduli pada keadaan suaminya sendiri. Raut kesedihan pun dengan cepat menghilang dari wajahnya, bahkan dia memilih untuk pergi ke atas. Mungkin dia pergi ke kamar Lisa, tapi entahlah ... Marni jadi seseorang yang sulit ditebak akhir-akhir ini. Apalagi dia sampai berani mencoba membunuh orang lain dengan tangannya sendiri.
Astaga ... suami dan ayah macam apa aku ini.
Aku duduk di kursi ruang tamu dan mempersilakan Andi untuk duduk. Kali ini sosok pria muda dan alim ini menjadi satu-satunya orang yang bisa kuharapkan untuk membantu menenangkan kegelisahan yang berkecamuk dalam hati.
"Kamu tidak sibuk?" tanyaku membuka percakapan.
"Tidak, Pak. Kebetulan saya berhenti dari rumah sakit tempat saya bekerja. Saya ingin membuka klinik di kampung ini, dan perizinannya pun sedang diurus," tuturnya ramah.
Aku hanya tersenyum. Anak yang cerdas dan penuh ambisi, pikirku.
"Maaf, Pak. Sebenarnya Bapak mau membicarakan masalah apa?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Entah mengapa aku merasa malu mengutarakan keinginan yang sedari tadi dipikirkan, dan yang lebih menghantui adalah apa yang akan terjadi pada keluarga ini ke depannya?"Kenapa kamu ingin membantu kami? Terutama menyembuhkan Lisa," tanyaku memberanikan diri.
Andi terlihat menunduk dan menghela napas berat. Tak seperti dugaanku bahwa dia akan menjawab dengan cepat dan mudah, tetapi ternyata sebaliknya. Andi seperti berpikir keras hanya untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah ada di dalam kepalanya. Dia mengangkat wajah dan tersenyum tipis ke arahku."Saya pun bingung, Pak. Jiwa saya sebagai dokter mungkin menjadi alasan untuk membantu sesama. Namun, jiwa saya sebagai sesama muslim itu lebih kuat."
Entah harus mengambil kesimpulan seperti apa atas jawaban yang ia lontarkan. Aku melihat ketulusan dari sebuah ucapan sederhana itu. ‘Seorang muslim’, kata yang begitu menampar jiwaku saat ini. Dulu, saat susah, sebagai kepala keluarga begitu banyak hal yang diajarkan pada anak-anak untuk menjadi seorang muslim yang baik. Terbukti ilmu itu diterapkan oleh Lisa. Beruntung memiliki anak seperti Lisa.
"Pak ... apa Bapak baik-baik saja?" tanya Andi membuyarkan lamunan.
Aku segera menyeka ujung mata ini, berharap dia tidak tahu jika seseorang yang ada di hadapannya adalah pria yang rapuh dan merasa gagal membangun keluarga yang baik menurut syariat Islam. Diri ini hanya bisa tersenyum miris karena sudah berhasil membawa sebuah keluarga masuk ke dalam pusara iblis.Aku menghirup udara dalam dan berkata, "Aku ingin kembali menjadi ayah dan suami yang baik, tapi perjanjian itu sudah terlanjur terbentuk." Membuang pandangan dengan dada yang terasa begitu sasak.
"Alhamdulillah, Pak. Ini langkah baik sebenarnya untuk keluarga Bapak. Sebagai seorang kepala keluarga, Anda sudah menyadari kesalahan ... dan itu tidaklah mudah," ucapan Andi terdengar seperti sebuah dukungan.
Namun, hati ini tetaplah tidak yakin. Bukan tidak yakin pada diri sendiri, melainkan pada istriku, Marni. Dia terlanjur terobsesi dengan harta dan kekayaan, tidak mudah mengajaknya kembali ke jalan yang benar."Apa saya bisa?" ungkapku ragu.
"Insya Allah bisa, Pak. Semua ini bisa ditinggalkan atas izin Allah. Tak ada sesuatu yang mustahil dengan izin-Nya."
"Iya ... mudah-mudahan." Aku mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah. Kalimat istigfar terucap dalam hati untuk pertama kalinya setelah beberapa saat menghilang. Dada ini terasa semakin sesak dan sakit. Sampai sejauh inikah kewajiban telah kutinggalkan?
"Taubatan nasuha, itu bisa jadi pemutus perjanjian kalian dengan jin yang kalian puja," tutur Andi membuka percakapan tentang hal yang lebih sensitif.
"Semudah itu?" tanyaku ragu.
Namun, Andi menggeleng perlahan memperlihatkan segala keraguannya. Aku kembali menghela napas berat.
"Selalu ada konsekuensi yang didapat dalam sebuah perbuatan, Pak. Tentu Bapak tahu itu, ‘kan? Saya dan Kyai Ilham akan membantu sebisa mungkin, terutama menyelamatkan Lisa."Lisa, anak gadis satu-satunya yang selama ini aku lupakan keadaannya. Rasa bersalah dan berdosa kembali menjalar dan semakin menguat. Jemari ini mengacak rambut frustrasi, dan tubuh terasa lunglai sampai bersandar dengan cepat pada belakang kursi. Timbul sebuah pertanyaan kembali, ke mana rasa sayang dan tanggung jawab sebagai Bapak terhadap anak-anaknya sendiri?
"Apa Lisa masih bisa diselamatkan?" Nada suara ini kembali meragu.
"Saya tidak tahu, Pak. Kita hanya bisa menyerahkan segalanya kepada Allah, semua atas kuasa-Nya. Permintaan ini hanya satu, kalian sebagai orang tua harus punya hati yang lurus dan yakin atas takdir yang sudah digariskan. Selamat atau tidak akan selalu ada hikmah di balik peristiwa. Namun, tidak ada salahnya jika kita berusaha terlebih dahulu."
Aku menatap anak muda berwajah tampan itu. Pemikirnya yang dewasa, dan ambisinya membuatku malu sebagai orang yang mengaku tua lebih dari dirinya.
"Aku akan coba membujuk Marni terlebih dahulu. Dia akan mengacaukan segalanya jika hati dan pikirannya masih dibutakan oleh harta," ucapku dengan nada lemah.
"Saya mengerti, Pak. Insya Allah ... Pak Darman bisa melakukannya," tegasnya membuat keyakinan ini sedikit lebih meningkat.***
Dengan mengucap ‘bismillah’, aku memulai segalanya dari awal. Ya, ini kali pertama mengambil air wudu setelah beberapa pekan melupakan kewajiban sebagai seorang muslim. Ada ketenangan yang menyeruak di dalam sana, akan tetapi ada ketakutan pula yang ikut bergeming dalam hati.Satu persatu kubasuh anggota tubuh ini sesuai rukun wudu dan menutup dengan doa setelahnya. Ada rasa tenang yang dulu sempat menghilang, ada rasa bahagia yang dulu sempat tiada. Jemari ini mengusap wajah yang sudah basah, lalu berbalik badan untuk melangkah. Namun, mata ini membelalak saat tatapan sinis dan tajam itu mengarah kepadaku. Bak singa buas yang sangat lapar siap melahap kapan saja.
Sosok yang sudah lama tidak kujumpai. Manusia setengah ular dengan taring yang terlihat begitu tajam. Rupanya yang menyeramkan, ditambah iris mata berwarna merah menyala. Kulit berwarna hijau bersisik menambah aura seram pada diri Nyai Gayatri. Angin berembus sangat kencang membuat tengkuk begitu merinding. Kehadiran Nyai memang selalu membawa aura mistis tersendiri.
"Apa yang kau lakukan Darman?" tanyanya setengah berteriak.
"Nya-Nyai ... a-aku ...."
"Kau ingin mengakhiri perjanjian kita?"
Bibirku kelu tak bisa menjawab karena rasa takut yang begitu kuat. Namun, teringat kembali pada keyakinan untuk bisa menyelamatkan keluargaku sebelum semuanya terlambat.
"Iya ... aku ingin mengakhiri semuanya. Aku meninggalkan jalan sesat ini dan berhenti memuja iblis sepertimu," tegasku memberanikan diri.
Tawa Nyai menggelegar mengisi ruangan yang begitu kosong dan hampa. Aku menutup mata menepis rasa takut yang semakin menggebu, tak lupa lantunan istigfar kuucap sebisa mungkin dalam hati. Baru terucap kembali bahwa aku meminta pelindungan-Nya. Ya, aku manusia tak tahu malu, itu kenyataannya.
"Kau terlalu lemah untuk melepaskan perjanjian ini begitu saja, Darman. Semua belum usai, ada suatu hal yang kau lupa dari perjanjian kita."
Jantungku berdetak kencang, langkah ini semakin mundur menjauh dari sosok yang membuatku takluk selama ini. Teringat lagi pada masa itu, saat sebuah perjanjian yang kuucap tanpa sepengetahuan Marni. Ada hal yang tak kuceritakan padanya kala itu."Jangan coba melanggar janji, atau kau yang akan mati. Satu lagi, jangan laksanakan kewajibanmu sebagai orang yang pura-pura baik. Menyembahku saja itu sudah menjadikanmu keluar dari ajaran-Nya."
"A-aku ...."
Kenapa tidak pernah terpikir tentang perjanjian itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
TerrorMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...