Sosok Aneh

4.5K 141 6
                                    

Aku memegang benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah. Sudah kuduga ternyata memang hamil, pantas saja beberapa hari ini sering mual dan terlalu mudah lelah.

Aku memandang cermin di kamar mandi, lantas membasuh muka untuk menyegarkan diri yang terlihat lusuh.  Entah, aku merasa tidak bahagia dengan kehamilan ini, karena Fahmi masih sangat kecil. Aku pun takut jika kehamilan ini menghalangi proses ritual bersama Nyai.

Aku kembali membasuh muka, memandang wajah yang sudah sangat basah. Namun, entah mengapa hawa aneh seketika menyeruak. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Kuambil handuk dan mengelap sisa-sisa air yang menempel di kulit.
Selintas ujung mata ini menangkap bayangan di cermin. Aku terperanjat dan berbalik arah, tapi tak ada siapa pun di sana. Lantas berbalik kembali menghadap cermin.

Kuusapkan kembali handuk, tetapi belum sempat membuka mata ada sesuatu yang menggerayang dari belakang tepat mengenai perut. Kubuka mata sedikit demi sedikit, terlihat sebuah tangan berwarna hijau dengan kuku yang sangat panjang,  hitam pekat. Ia mengelus perutku dengan hati-hati.

Jantungku berdegup kencang, napas ini terasa begitu sesak. Ingin sekali berteriak, tapi bibirku seolah membisu seketika. Belum cukup sampai di sana. Kini sebuah rambut berwarna putih terjuntai tepat berada di bahuku, napas hangat dengan bau busuk membuatku begitu mual.

"Dia milikku," ucapnya lirih tepat di telingaku.

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Tidak terasa air mata yang sedari tadi kutahan keluar karena rasa takut yang begitu kuat. Lampu kamar mandi mati dan menyala menambah ketakutan yang semakin menguat.

"Anak ini milikku."

Tubuhku semakin menegang. Suara serak seperti tertahan di kerongkongan itu terus berbisik ditelingaku. Tubuhku bergetar hebat, jantung ini terasa ingin keluar dari tempatnya. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis.

"Kau akan mati bersamanya."

"Bu ... Ibu di dalam?"

Serentak aku tersadar, sosok itu menghilang seketika. Lampu kembali pada cahaya asal. Aku berlari menuju pintu dan membukanya dengan cepat.

"Ibu, kenapa?" tanya Lisa yang terlihat heran melihat napasku yang terengah-engah.

Untung saja Lisa hadir dan membuat makhluk itu pergi. Tapi, siapa dia? Tidak mungkin jika itu Nyai.

"Ibu baik-baik saja, 'kan?" Lisa memegang bahuku dan sedikit mengguncangkannya.

"Iya, ibu tidak apa-apa. Ada apa, Sayang?" Aku mencoba menenangkan diri dan tersenyum tipis ke arahnya. Aku tidak ingin Lisa berpikir macam-macam tentang hal ini.

"Tadi ada kabar jika Ustaz Zul meninggal, Bu. Apa Ibu sudah mengetahuinya?"

Aku sedikit gugup dengan pertanyaan Lisa. Bahkan bodohnya, mata ini tidak berani memandang wajah putriku sendiri.

"Kenapa Ibu tidak mau menjawab?"

"Maksud kamu apa?" bentakku dengan tidak sengaja.

Matanya terlihat menyipit ke arahku. Dia melipat tangan di dada seolah ingin melemparkan kecurigaan dalam hatinya selama ini.

"Aku curiga," tuturnya dengan nada kecut.

"Apa kamu tidak bisa sedikit saja berpikir baik tentang ibumu ini?" Nada bicaraku berubah menjadi meninggi. Lisa sudah bertanya terlalu jauh, dan aku takut jika tidak bisa menahan amarah terhadapnya.

"Ustaz Zul kecelakaan sesudah pulang dari sini, Bu."

"Lantas kamu menyalahkan keluargamu sendiri? Ini sudah takdir Tuhan, Lisa!" bentakku, membuatnya menurunkan tangan dan menatapku sinis.

Dia menggeleng perlahan seolah enggan berkata lagi. Kini Lisa pergi menjauh. Dia memang anak yang baik, tidak pernah ingin membuat kami sebagai orang tua marah dan bersedih. Namun, lagi-lagi sikap Lisa membuatku menjadi orang tua yang tidak berguna.

Hawa aneh itu datang kembali, aku mengarahkan mata ke setiap sudut ruangan berharap sosok tadi tidak menampakkan dirinya lagi. Mungkin pilihan yang terbaik adalah pergi dari sini dan memberitahukan Mas Darman tentang kehamilan yang tidak aku inginkan.

***

Malam ini, di meja makan kami berkumpul menikmati hidangan yang sudah kumasak dengan kasih sayang dan cinta untuk anak dan suamiku.
Namun, kehangatan yang dulu tercipta kini terasa hampa. Di sini, di ruangan ini hanya ada keheningan dan kebisuan satu sama lainnya.

"Kamu makan yang banyak, Dek," ucap Mas Darman senang.

Dia sudah mengetahui kehamilanku, dan tak seperti yang kuharapkan. Mas Darman menerima anak ini dengan sangat bahagia.

"Adek mau jadi kakak, ya?" ucap Fahmi dengan nada polos khas anak-anak.

Mas Darman tersenyum dan mengelus pucuk kepala Fahmi dengan perlahan. Sementara aku enggan menjawab, karena memang bukan ini yang kuharapkan.

"Aku merindukan sesuatu," celetuk Lisa, membuat kami menoleh ke arahnya.

"Apa yang kamu rindukan, Lisa?" tanya Mas Darman ramah. Suamiku memang sosok penyayang, maka tidak heran sikapnya begitu lembut pada anak-anak.

"Aku merindukan masa-masa miskin."

Aku hanya menggeleng menanggapi celotehnya yang tidak masuk akal itu. Suasana hening kembali, bahkan Mas Darman pun tidak merespons ucapan Lisa.

"Aku merindukan shalat subuh berjamaah. Berdoa bersama secara bergantian, manis sekali, 'kan?"

"Lisa ... jangan bicara saat makan!" bentakku kembali.

"Itu kenyataannya, Bu, bahkan aku tidak pernah melihat Inu menyentuh mukena yang selama ini Ibu banggakan," ucapnya tertahan. "Itu mukena pemberian Ayah saat kalian menikah, bukan?"

Aku melepaskan sendok dari tangan hingga menimbulkan bunyi yang membuat mereka semua terperanjat.

"Lisa, pergi ke kamar! Atau ibu akan mengurungmu di gudang," gertakku. Berharap ia takut dan menghentikan ocehannya.

"Sudah ... sudah! Ini suasana makan, kenapa kalian malah ribut seperti ini?" Mas Darman mencoba jadi penengah antara aku dan putrinya.

"Ayah ... Ayah selalu jadi imam dalam shalat kam, bahkan Ayah selalu memarahiku saat aku menunda waktu ibadah." Mata Lisa tampak berkaca-kaca.

Mas Darman membisu. Ini tidak boleh dibiarkan, bisa saja sikap Lisa seperti itu membuat hati ayahnya luluh dan berbalik meninggalkan kekayaan yang sudah berada dalam genggaman.

"Lisa, dengarkan Ayah! Ayah hanya—"

"Hanya apa, Yah? Ayah tidak merindukan saat-saat itu?"

Tanganku terkepal menahan sesak di dada, amarah ini bisa meledak kapan saja. Kepala pun terasa sakit dan wajahku memanas seketika. Aku turun dari kursi dan menghampiri Lisa, menarik tangannya dengan paksa.

"Ibu, sakit. Lepaskan, Bu!"

Dia meronta, aku menyeretnya dengan segera. Entah, dorongan ini begitu kuat untuk menyakiti putriku sendiri. Hatiku menolak, tapi pikiranku memaksa.

"Aku akan mengurungmu di gudang!" teriakku dengan menyeret tubuh mungilnya.

"Jangan, Marni! Ini anakmu sendiri." Mas Darman melepas tanganku secara paksa sampai terlepas. Lisa yang sudah menangis memeluk ayahnya dengan sangat erat.

Aku tertunduk, merenungi perbuatan yang sudah kulakukan. Mengapa diri ini seolah menjadi monster untuk keluargaku sendiri? Wajah ini berpaling ke arah Fahmi yang dengan polosnya menyaksikan adegan ini dari meja makan. Merasa bersalah, hanya itu yang berkecamuk dalam hati saat ini.

"Lisa, kamu pergi ke kamar, ya!" ucap Mas Darman lembut. Lisa tampak mengangguk dan pergi ke kamarnya di lantai atas. Baru saja kami berbalik arah, teriakan Lisa terdengar lantang.

    "Ayah!”

Apa yang terjadi? Ada apa dengan Lisa?



Tumbal Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang