(18). Selamat Tinggal

213 10 0
                                    

Bagian sebelumnya

Aku menggangguk dan segera berbalik menuju kamar. Setidaknya aku mengetahui kenyataannya sedikit demi sedikit.
_______________________________________________

"Pagi"

"Pagi juga"

Aku mencari sarapan di meja makan dapur. "Kau sudah menyiapkan sarapan 'kan?" tanyaku. Dia menatapku jengkel. "Sebaiknya kau mandi dulu baru sarapan" jawabnya dengan nada jengkel.

Aku berbalik menuju kamar mandi. "Jika aku sudah kembali, sarapan sudah harus siap ya!" perintahku. "Ya, sana mandi dulu, dasar perempuan aneh" balasnya.

Selesai mandi, tentu saja berpakaian seperti layaknya bangsawan yang berada disini. Serba hitam.

"Sarapan sudah ada dimeja"

Aku langsung menyantap sarapan pagi itu. Dia tak berkomentar apa pun saat aku menyantap sarapan pagi yang ia siapkan. "Oh ya, kertas yang waktu itu kau bilang itu kemana?"

Dia menghela nafas. "Ada di ruangan usang nomer 4 dari belakang" jawabnya. Aku mengganguk mengerti. Sepertinya sih, dia kelelahan. Tapi, kenapa dia tidak istirahat saja?

"Oi, kau lelah ya?"

"Tidak"

"Jangan bohong, kau tahu, aku ini mengenalmu sudah sejak lama, jadi aku tahu kebiasaanmu, mengelak itu kebiasaanmu"

Dia menatapku dengan tatapan super jengkel. "Ya, ya, aku lelah, kau puas Nona?" katanya. Wajar saja kalau dia jadi seperti ini. Dia berjalan menginggalkanku dan menuju kamarnya.

Kamar nomer 4 dari belakang, itu ruangannya batinku.

Entahlah apa lagi yang akan aku dapatkan dari kamar usang itu.

Entah itu data-data Ayah.

Ataupun itu kertas yang berisi tulisan milik Ibu.

Mungkin bisa keduanya.

Kalau begitu mungkin ada agenda milik Ibu. Atau buku jurnal milik Ayah. Buku penelitian milik Ayah mungkin ada di ruangan itu.

Buku koleksi milik Ibu mungkin masih disimpan disini.

Tapi itu semua masih kemungkinan besar.

Selesai menyantap sarapan, aku asal menaruhnya di dapur dan langsung melesat ke ruangan yang di maksud oleh Uta.

Di lantai dua, terlihat kesan berantakannya. Debu di lantai ini menumpuk dan mungkin jarang di bersihkan. "Huh, ini tak pernah dibersihkan ya? Berantakan sekali" gerutuku.

Sampai di kamarnya, aku mengentuk pintu dan memutar kenop pintu.

Bunyinya sangat mendukung di suasana seperti ini. Gelap gulita. Setelah menekan sakelar di ruangan itu, lampunya memancarkan cahaya yang lumayan terang.

"Nice, disini banyak peninggalan berharga"

Sruk!

Kertas yang kucari mendarat tepat di bawah kakiku. "Ini kertas yang dimaksud 'kan?" gumamku. Setelah membacanya, aku menghela nafas.

Kamar kembali hening.

Bom!

Suara ledakan itu menjadi-jadi.

Tapi aku menghiraukannya. Dan berpikir mungkin itu bangsawan lain yang tengah berlatih.

Setelah menelusuri kertas tersebut, sebaiknya mencari barang yang berharga yang lain. Agar setidaknya ingatanku tentang orangtuaku kembali.

Noblesse ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang