✎ ᴄʜᴀᴘᴛᴇʀ 𝟹

4.8K 284 5
                                    



Siang telah berganti malam. Sang matahari pun telah tergantikan oleh sang bulan, saling bergantian untuk memenuhi tugas masing-masing.

Kini, jam telah menunjukkan pukul 19.00 KST, ini sudah memasuki waktu makan malam.

Saat ini Haechan tengah marajuk tidak ingin makan. Sang ibu juga sudah membujuk Haechan sedari tadi, namun Haechan tetap tidak ingin makan. Bahkan ia membekap mulutnya dengan tangannya sendiri agar sang bunda tidak bisa memasukkan makanan yang bertekstur lembek itu.

"Huffft!" Sang bunda pun menghela nafas pelan.

"Adek, ini udah waktu makan malam dan adek harus makan. Kalau nanti adek nggak makan, kondisi adek nanti menurun lagi, adek mau makin lama dirawat di sini?" tutur sang bunda dengan lontaran pertanyaan di akhir kalimatnya.

"Adek nggak mau! Adek pengen cepet sembuh!" balas Haechan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tangan yang masih membekap mulutnya sendiri.

Jujur saat ini Da Hae tengah menahan gemasnya ketika melihat si bungsu yang tingkahnya begitu imut.

"Nah, adek pengen cepet sembuh, 'kan? Jadi, adek harus makan biar cepet sembuh dan bisa keluar dari rumah sakit," ucap Da Hae dengan nada lembut sambil mengusap surai hitam legam anaknya.

Dong Wook yang sejak tadi menyaksikan itu akhirnya turut membujuk Haechan. Ya, walaupun dia adalah seorang CEO, dia tetap selalu mengutamakan keluarganya, apalagi saat ini si bungsu sedang sakit. Jadi dia cukup menyerahkan urusannya pada sekretaris nya. Sedangkan Mark di mana? Tadi Mark meminta izin pada ayah dan bundanya kalau dia ada keperluan mendadak, tentunya dengan temannya, Da Hae pun mengizinkan asalkan Mark kembali tepat waktu dan tidak melebihi jam sepuluh malam. Memang kedengarannya seperti aturan seorang ibu kepada anak perempuannya, tapi memang itulah Da Hae, dia akan tetap membatasi waktu Mark saat di luar rumah. Bukan apa-apa, hanya saja agar dia tidak merasa khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada anaknya jika anaknya pulang ke rumah dengan sangat larut.

"Adek, ayo buruan makan. Nanti buburnya keburu dingin, loh. Kalau sudah dingin jadi tidak enak buburnya. Ayah suapin, gimana?" Sang ayah berucap dengan lembut untuk membujung sang anak.

"Adek nggak mau makan itu, adek pengen makan salmon, adek nggak mau yang itu!" sahut Haechan dengan penekanan dan juga masih membekap mulutnya.

"Adek baru aja sadar dua jam lalu,  loh! Adek harus makan ini, ngga boleh yang lain, nanti kalau adek malah ngga buruan sembuh gimana?" ujar bunda.

"Ish! Yaudah deh, adek mau makan bubur itu. Tapi, ada satu syarat!" Haechan pun tidak menyerah begitu saja, harus ada syaratnya.

"Huffftttt ... " Pasutri di ruangan itu pun sama-sama menghela nafas pelan mendengar penuturan anak bungsu mereka.

"Oke deh, syaratnya apa, sayang?" tanya Da Hae dengan sabar.

"Syaratnya, adek mau makan tapi hanya tiga suap." Itulah syarat Haechan yang kini sudah tidak membekap mulutnya.

"Hahhh ... yaudah, iya deh." Da Hae memilih untuk menyetujuinya saja, walau hanya tiga suap, setidaknya ada nutrisi yang masuk ke dalam tubuh si bungsu.

Sang ayah yang melihat itu pun hanya mampu geleng-geleng kepala.

Lalu Da Hae mengambil mangkuk yang berisikan bubur yang mulai tidak hangat lagi karena perdebatan mereka sebelumnya, kemudian bunda menyuapkannya pada si bungsu.

Namun baru di suapan kedua, Haechan tiba-tiba membekap mulutnya.

"Mual, bunda," ucap Haechan pelan dengan mata yang berkaca-kaca.

My Family is My Strength [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang