✎ ᴄʜᴀᴘᴛᴇʀ 𝟸𝟽

1.7K 128 18
                                    

Matahari telah menampakkan wujudnya yang menandakan bahwa malam telah berakhir dan digantikan dengan hari yang baru, membuat para orang-orang kembali menggeluti pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas mereka setiap harinya.

Namun kini jam yang terpajang di dinding bercatkan putih di ruang makan milik keluarga Lee baru menujukkan pukul enam pagi. Dan sudah saatnya untuk mereka memulai kegiatan rutin pagi mereka, yakni sarapan bersama.

Da Hae pun kini tengah sibuk menata hidangan yang harus disajikan di meja makan dengan Taeil dan Mark yang sudah duduk manis di kursi masing-masing. Hanya tinggal menunggu sang suami turun ke sini, karena biasanya saat ini suaminya itu sudah selesai mematutkan diri di depan cermin.

Dan baru saja dibilang, Dong Wook sudah terlihat menuruni satu-persatu anak tangga dengan santai, tak lupa dengan jas formal juga tas kantor yang ia jinjing di tangan kanannya.

"Pagi, boy, " sapanya pada kedua anaknya yang sibuk memerhatikan ponsel masing-masing seraya mengusak pelan surai keduanya.

"Pagi juga, ayah."

"Nahh ... berhubung ayah sudah ada di sini, kalian tunggu sebentar lagi, ya. Sementara bunda akan membangunkan adek di kamarnya," ujarnya yang hanya mendapat anggukan saja dari anak-anaknya.

Lalu Da Hae mulai melangkahkan kakinya ke lantai atas dimana kamar si bungsu berada. Saat ia sudah di depan kamar milik sang anak, dengan perlahan ia membuka pintu yang tak pernah terkunci itu.

Sudah pasti dugaan seorang ibu dari tiga anak itu benar bahwa, si bungsu masih tertidur nyenyak dibalik selimut hangatnya tanpa terganggu oleh nassal canula yang bertengger di hidung mancungnya.

Ia mendekati ranjang sang anak setelah sebelumnya ia membuka tirai yang menutupi jendela kaca besar di kamar Haechan. Dengan nada yang sangat lembut ia mencoba membangunkan sang anak. "Adek, bangun yuk. Saatnya sarapan," ucapnya seraya menyisir helaian rambut hitam legam sang anak dengan jemari lentiknya.

Rupanya Haechan masih berjalan-jalan di alam mimpinya. Ia masih belum terusik sama sekali.

"Adek ... sudah waktunya sarapan, sayang." Da Hae menghujani kecupan di wajah pucat yang sangat kentara milik sang anak bungsu.

Dan kali ini Haechan mulai terusik dengan sang bunda yang mengecupi wajahnya dengan gemas. Ia menggeliatkan tubuhnya pelan dan matanya langsung menyipit menyesuaikan sinar matahari yang berhasil memasuki retinanya.

"Ihh ... bundaaa adek masih ngantuk," rengeknya yang tidak terima bobo gantengnya diganggu oleh sang bunda.

"Adek, ayo buruan bangun. Ini udah waktunya sarapan," kata Da Hae lagi setelah ia berhenti mengecupi wajah si bungsu.

"Nanti aja, bunda. Adek mau tidur lagi ... aaaa," rengekannya semakin menjadi. Sungguh, dia masih ingin tidur.

"Eitts, nggak ada nanti-nantian. Adek nggak boleh telat sarapannya. Ayah, kak Taeil dan kak Mark juga sudah menunggu di bawah, loh."

"Adek masih pengen tidur, bunda." Haechan kembali menolak dengan nada yang kali ini terdengar sedikit bergetar.

Oh tidak. Da Hae lupa bahwa sang anak bungsu akhir-akhir ini memang lebih sensitive dari biasanya. Dia tidak tahu apa penyebabnya, mungkin mood sang anak memang sedang buruk.

My Family is My Strength [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang