Aku bingung. Sebentar lagi penilaian tugas Seni bab musik. Aku tidak bisa bermain alat musik, memegang pun tak pernah.
Aku menatap Aditya yang terlihat santai dengan buku kecilnya entah buku apa lagi itu, aku belum pernah melihatnya. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. Kebetulan Hamzah, teman semejanya, sudah keluar beberapa menit yang lalu.
Aku hanya diam. Sesekali melirik isi buku yang dipegangnya. Walau aku tidak bisa bermain alat musik, aku tahu buku itu berisi chord. Aku kembali menatapnya. Baru kusadari kalau sedari tadi bibirnya mengguman. Pantas jika dia masih mengabaikanku.
"Dit." Tidak ada respon berarti darinya. Aku kembali memanggilnya, tapi dia kembali tak merespon. Mungkinkah dia terlalu fokus dengan tulisan itu? Selama ini dia tidak pernah mengabaikanku jika sedang kencan dengan buku kecil itu. Atau jangan-jangan?
Aku menepuk lengannya. Tapi dia masih menyibukkan diri dengan buku kecil itu.
"Dit, tolong jangan gini! Aku bingung harus ngapain kalau kamu gini."
Dia menghembuskan nafas panjang. Lengannya bergerak menutup buku kecil yang sedari tadi dipegangnya. Saat itu juga, bola matanya bergulir ke arahku. Aku terkesiap. Ini bukan Aditya yang biasanya. Tatapan Aditya tidak pernah sedingin ini.
"Ke-kenapa?" Tanyaku tergeragap. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku takut.
Tatapannya tidak melunak sedikitpun. Padahal jika dalam mode biasa, dia akan luluh saat melihatketakutanku.
"Kamu yang kenapa, kenapa kamu tidak mengijinkanku bertemu kakakmu?" Tuturnya sedingin pandangannya. Dia masih marah dengan yang tadi. Ya, aku memang salah.
"Maaf." Cicitku menyesal. Aku menunduk. Sudah tak berani menatapnya lagi.
"Kenapa,Ra? Apa kamu malu punya pacar seperti aku?" Aku menggeleng. Bukan, aku bahkan sangat beruntung memiliki seseorang yang mau mengerti apa mauku.
"Ra, kita udah SMA. Udah gak jamannya kita backstreet. Kita harus mempersiapkan diri untuk jenjang yang lebih serius. Aku butuh ketemu kakakmu, aku butuh ijinnya buat seriusin kamu."
Air mataku menetes. Tak mampu lagi mengucapkan balasan yang tepat. Harusnya aku bahagia, mendapatkan pacar yang begitu baik seperti Aditya. Namun, kenapa aku malah takut? Mungkinkah aku takut kehilangannya? Atau aku takut memiliki seorang pacar yang begitu serius seperti dia?
"Okey." Aditya menepuk bahuku pelan. Meminta perhatianku. Aku mendongak, memberanikan diri menatapnya." Kalau kamu tidak ingin memperkenalkan aku dengan kakakmu, biar aku yang memperkenalkan diri. Aku tidak mau suatu saat nanti kakakmu kecewa dengan kita." Aditya tersenyum. Sayang, senyum itu belum mampu menenangkanku.
"Aku takut, Dit. Aku takut kakak tidak merestui kita." Akuku." Kakak begitu protective padaku, dia akan benar-benar menyeleksi orang yang dekat denganku, terutama laki-laki. Kakak tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sekali tidak suka, dia akan langsung mengatakan tidak suka. Aku takut dia tidak menyukaimu dan memintamu untuk meninggalkanku." Lelah sudah aku menyembunyikan semuanya. Biarlah Adit tahu dan memutuskan sendiri jalan yang mau dia ambil.
"Terima kasih kamu udah kasih tau aku seperti apa kakakmu, aku jadi punya persiapan untuk itu." Aditya tersenyum. Senyum yang manis sekali, senyum yang selalu mengalihkan duniaku.
Aku ikut tersenyum walau hati kian meragu. Biarlah apa yang akan terjadi nanti. Semoga Tuhan merestui apa yang kami bangun selama ini. Aku pasrah jika Adit ingin menemui kakakku. Aku pasrah jika nanti kakak menyuruhnya pergi dariku. Tapi kuharap, kepasrahanku yang kedua tidak pernah terjadi.
Aku menghapus air mataku. Menerbitkan senyumku sekedar memberi semangat. Dia pacarku, aku harus mendukungnya. Hitung-hitung latihan menjadi istrinya. Istri? Oh, aku mulai berfikir yang macam-macam.
"Terima kasih sudah mengijinkanku memilikimu, Zahra. Aku tahu ini belum saatnya aku mengatakan ini, tapi aku bahagia bersamamu. Semoga nanti Allah menjodohkan kita."
"Amiin."
"Aku minta nomornya kakak kamu, boleh? Aku tahu kamu nggak akan mau menemaniku, jadi biar aku sendiri yang ketemu kakakmu." Dia tersenyum di akhir kalimatnya. Entahlah. Ada rasa lega menggerayangi hatiku.
"Tau aja kamu." Aku tersenyum. Segera kukeluarkan ponselku dan mengirim kontak kakakku lewat whatsapp. Sudahlah, Tuhan lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
"Ciyee, yang baikan!"
Astaga!!! Dewi memang sahabat paling menyebalkan. Datang tiba-tiba, teriak-teriak pula. Memang ini hutan?
Aku memejam sejenak kemudian menatap sahabatku itu. Sungguh, aku ingin mencubit hidungnya yang pesek itu. Bisa-bisanya dia berdiri berbatas satu bangku dariku dengan senyum menjengkelkan itu. Padahal sedang ada Hamzah di sampingnya. Oh ya, Hamzah itu pacarnya Dewi. Sudah jalan enam bulan.
"Ra, jangan gitu dong! Ntar malah marahan lagi." Dewi terkikik, sementara Hamzah hanya tersenyum. Entah apa yang lucu, aku tak tahu.
"Udah, Wi! Jangan godain mulu! Nanti aku juga yang kena." Hamzah mengusap bahu Dewi lembut. Selembut ucapannya.
"Emang kamu diapain?" Dewi menatap Hamzah meminta penjelasan.
Hamzah berdecak. Mungkin kejadiannya cukup membuatnya kesal." Dia tadi matahin dua polpen aku, katanya tangannya gatel. Udah itu tiba-tiba jambak rambut aku, gemes katanya." Lelaki itu geleng-geleng kepala dan mendengus." Pokoknya aku minta tuker aja kalo mereka marahan. Kapok aku jadi pelampiasannya."
Cerita itu sukses membuatku melongo. Itu seriusan Adit? Aditya Rahman pacarku seperti itu kalau marah? Aku melihat wajah pacarku. Wajahnya merah, bibirnya komat-kamit entah mengucap apa, dan matanya menatap arah lain. Jangan lupakan tangan kiri yang tiba-tiba menggaruk paha! Itu adalah gerakan tanpa sadar yang menunjukkan kalau dia malu, gugup, atau salah tingkah. Dan semua yang terjadi padanya sukses membuatku tertawa.
-----
Nikmati aja!! Hidup juga cuma sekali, yang penting happy,, happy positive tapi😂😂😂
![](https://img.wattpad.com/cover/204113376-288-k719538.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Zahra!!
Teen FictionIni tentangku. Tentang hidupku dengan kakakku. Sederhana. Namun selalu terkenang sampai saat ini. Ini tentang kisahku. Tentang kebanggaanku dan kekecewaanku. Namun, kisah ini tak mampu kulupa. Karena kisah ini, adalah awal dari cerita luar biasa dal...