Assalamualaikum,, sugeng siang semuanya,, apa kabar?? Lama nggak ketemu ternyata kangen ;) :')
----Sepulang dari rumah mbak Yuli, mas Bayu mengajakku ke supermarket. Kebetulan kebutuhan rumah menipis. Aku sibuk memilih sayur, buah, ayam, ikan, udang, dan segala kebutuhan untuk satu minggu kedepan. Sementara masku bertugas mendorong troli dan mengikuti kemanapun aku melangkah.
“Ra!”
“Hm?”
“Zahra!”
Aku menatap masku. Sepertinya dia dalam mode kesal. Aku memang mengabaikannya, tapi aku sedang berkonsentrasi memilih sayuran.
“Ada apa, Masku Ganteng?”
Mas Bayu meringis.” Menurut kamu Yuli gimana?” Tanyanya.
Aku memutar bola mataku lalu kembali memilih sayur yang akan kubeli.” Cantik, Mas juga cinta kan sama dia?” Ucapku tanpa menatapnya.
“Ih, maksudnya tuh, dia pantes nggak jadi mbak ipar kamu?”
Aku terhenyak. Ada di level manakah tingkat kepekaan masku ini? Tidakkah dia tahu dimana posisi kami? Bagiku, kurang pantas membicarakan masalah itu di sini. Banyak orang dan kurang leluasa. Aku menatapnya dan melipat kedua lengan di depan dada. Sungguh, ini menyebalkan.
“Mas mau minta pendapat Zahra?” Sarkasku.
“Iya, Ra.” Mas Bayu mengetuk-ngetuk gagang troli yang dipegangnya. Tanda kalau dia bingung atau salah tingkah.” Mas harus tau gimana pendapat kamu sebelum melangkah lagi.” Cengirnya.
“Menurut Mas, apa pantes kita bicarain ini di sini?” Tanyaku heran. Sekecil itukah kepekaannya?
Mas Bayu mengedarkan pandangannya lalu tersenyum.” Maaf, Mas nggak sabar.” Ucapnya.
Aku menghembuskan nafas kasar. Melanjutkan memilih sayuran yang terhenti karena mas Bayu. Entahlah, tiba-tiba aku merasa sedikit sesak. Bahkan rasanya semakin sesak jika aku mengingat betapa dekatnya mereka berdua. Apa ini cemburu? Tapi untuk apa? Masku tentu berhak untuk menikahi wanita yang dicintainya. Tapi, kenapa seolah hati ini tidak rela? Apa aku egois jika menginginkan kasih sayang utuh dari kakaku? Keluargaku satu-satunya.
“Zahra!”
Aku berjengit merasakan tepukan di bahuku. Hah, aku melamun. Aku menatap mas Bayu yang juga menatapku penuh tanya. Aku tersenyum. Meyakinkannya jika semuanya baik-baik saja. Dia hanya tersenyum dan mengelus bahuku. Aku tahu dia telah mengetahui sesuatu. Sejak dulu, tidak banyak hal yang bisa kusembunyikan dari mas Bayu.
“Udah belum? Mas pengen pulang.” Ucapnya sedikit merengek.
“Udah, ini aja. Nanti kalau kurang, kita bisa beli ke mang Adi.” Aku tersenyum.
“Kamu tunggu di depan aja! Mas bayar ini dulu.”
Mas Bayu mendahuluiku. Aku mengikutinya dan melangkah ke area tunggu di luar supermarket. Kukeluarkan ponselku dari tas dan membuka roomchat dengan teman-temanku. Tidak ada yang menarik. Aku membuka aplikasi bergambar kamera pink dan men-scroll layar. Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk melihat foto dan video dengan berbagai caption dan tag itu. Hingga tiba-tiba aku merasakan hembusan angin yang menerpa pipiku. Bulu kudukku berdiri, ada ketakutan yang mulai menjalar. Kuberanikan diri melirik dan perlahan menoleh.
“Ngapain sih?”
Diam-diam aku bernafas lega. Nyatanya itu mas Bayu yang tengah mengintip layar ponselku. Aku mencubit hidungnya gemas. Mengabaikan ringisannya dan permohonan ampunnya. Siapa yang tak kesal jika dikagetkan dengan cara seperti itu? Pasti fikirannya akan negatif dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Zahra!!
Teen FictionIni tentangku. Tentang hidupku dengan kakakku. Sederhana. Namun selalu terkenang sampai saat ini. Ini tentang kisahku. Tentang kebanggaanku dan kekecewaanku. Namun, kisah ini tak mampu kulupa. Karena kisah ini, adalah awal dari cerita luar biasa dal...