(Bukan) Modus

15 6 0
                                    

Zahra POV

Matahari sudah menggantung tinggi di langit. Bertemankan kapas putih yang berhambur mengikuti angin. Burung-burung berkicauan mencari penyambung hidup. Mengiringi embus yang mulai menetes dari rerumputan. Pukul enam, ya, ini pukul enam dan aku sudah duduk di sini lima belas menit lamanya.

"Assalamualaikum, Cantiknya mas Bayu." Mas Bayu mencium pipiku. Kebiasaannya setiap pagi, kalau bukan pipi ya dahi.

"Waalaikumsalam, Masku yang ganteng." Kuterbitkan senyum di bibirku. Meski kadang risih dengan kebiasaannya itu, aku belajar untuk tidak mempermasalahkannya. Toh, tidak semua orang seberuntung aku." Mas, aku nanti pulang sorean, ya? Mau ngerjain tugas sama temen." Kuambilkan nasi beserta kawan-kawannya untuk mas Bayu. Berusaha merayunya dengan senyum terindah yang kumiliki.

"Sama cewek apa cowok?" Tuh, mulai sifat posesifnya.

"Cowok." Jawabku enteng, tak mau berbohong.

"Berdua?"

"Iya."

"Di mana?"

"Taman."

"Ya udah, hati-hati!"

Benarkah? Semudah itu? Aku berhambur memeluk mas Bayu saking senangnya. The best pokoknya.

"Makasih, Mas." Kucium pipinya sebagai hadiah atas ijinnya yang langka.

"Iya." Mas Bayu tersenyum." Cepet diabisin! Mas nggak mau kamu telat."

Aku mengangguk dan segera menandaskan menu sarapanku. Untung mas Bayu tidak banyak bertanya. Kalau sampai itu terjadi, ketahuanlah kalau aku satu kelompok dengan Adit, pacarku sendiri.

***

Seusai bel pulang berbunyi, Adit menghampiriku. Aku tersenyum menyapanya dan kembali mengemasi barang-barangku. Sempat kulihat senyumnya yang manis itu. Mas Bayu, pengen Zahra bawa pulang Aditnya..

"Duh, bakal jadi obat nyamuk nih." Dewi mengipasi wajahnya dengan kedua telapak tangan." Aku duluan aja." Ucapnya lalu melenggang pergi.

"Dibolehin, Ra?"

Sejak kejadian itu, aku mulai terbuka pada Adit tentang mas Bayu. Bagaimanapun, dia berhak tau. Benar katanya, kita tidak selamanya bisa sembunyi.

"Boleh." Aku mengangguk." Kita boncengan apa gimana?" Tanyaku setelah selesai berkemas. Baru aku sadari ada tas gitar menggantung di bahu kirinya. Membuatnya terlihat 'cool' kalau bahasa anak sekarang.

"Kamu nggak masalah, kan?" Ada sedikit nada khawatir dalam pertanyaannya.

"Nggak pa-pa. Mas Bayu tahu temen kelompok aku cowok, tapi aku nggak bilang kalau itu kamu." Aku meringis. Walau sudah mau terbuka dengan Adit, aku belum banyak cerita ke mas Bayu. Masih ada takut.

Dia menghembuskan nafas kecewa, namun setelahnya senyum faforitku terbit." Ya udah, kita langsung berangkat aja. Takutnya kamu kesorean." Ajaknya.

Dia mempersilahkanku jalan terlebih dahulu. Membuat bibirku tersenyum dan hatiku berbunga-bunga. Aku merasa berharga, karena saat dia di belakangku aku merasa dijaga. Lebay memang, tapi hanya itu yang bisa kuungkapkan.

***
Dua puluh menit perjalanan, sampailah kami di taman kota. Suasananya tak begitu ramai karena hari kerja, tapi tidak ada gazebo yang kosong. Adit mengajakku duduk di salah satu kursi yang tidak banyak terkena sinar mentari, terhalang rimbunnya daun dari pohon yang menaunginya.

"Di sini nggak pa-pa, ya?" Tanyanya sambil mengeluarkan gitar manual warna putih dari 'kamar'nya.

Aku mengangguk. Tidak masalah. Toh tempatnya juga nyaman. Bisa menikmati suara kepakan sayap burung dara yang menjadi ikon taman ini.

Hai, Zahra!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang