Rumah Mbak Yuli

15 0 0
                                    


Suara kicauan burung yang mencari makanan dan kokokan ayam menyambut sinar matahari yang memecah kabut. Pagi ini begitu dingin, kaca jendela pun berembun. Namun itu tidak mampu melunturkan keindahan titik putih yang semakin lama semakin bercahaya.

Kuhapus titik embun yang mampu menembus kaca jendela kamarku. Menyisakan titik air yang dingin  namun mampu memperlihatkan pemadangan di baliknya. Aku tersenyum. Mengingat kembali saat duet bersama Adit dan saat dia mengucapkan sajak yang membuatku begitu berdebar. Senyumku semakin mengembang. Bahkan rasanya belum hilang walau lewat satu minggu.

“Zahra!”

Aku tersentak dan berbalik. Mas Bayu berdiri di ambang pintu entah sejak kapan. Wajahnya begitu kesal. Sudah berapa lama dia berdiri di sana? Aku meringis. Malu. Segera kupakai jilbabku dan menhampirinya. Mengembangkan senyum seindah mungkin dan berharap semoga mampu meredam emosinya. Ini masih pagi, aku masih belum mau mendengar ceramahnya.

“Masku yang ganteng, kok udah ke kamar Zahra pagi-pagi? Ada apa?”

Aku bergelayut di lengannya. Menyandarkan kepalaku di bahu lebarnya yang begitu nyaman. Kulihat wajahnya yang belum juga berubah. Aku tersenyum. Mungkin jurus terakhir mampu meluluhkannya.

Chup!!

“Mas Bayu marah sama Zahra, ya?” Tanyaku. Sengaja aku memelas dan mengerucutkan bibirku.

Chup!!

Aku berjengit dan menatap mas Bayu. Senyum jailnya muncul. Pertanda moodnya sudah membaik. Tapi tidak harus begini juga!!

“Mas!!” Aku memukul lengannya sekencang yang kumampu.

“Ash!!” Mas Bayu mengusap lengan bekas pukulanku.” Siapa suruh cium-cium pipi orang sembarangan? Giliran dibales aja sok ngambek!” Tukasnya.

“Mau ditabok lagi?” Aku bersiap mengangkat tanganku dan menatapnya tajam.

“Mau dicium lagi?” Mas Bayu balas menatapku tajam denan kedua telapak tangan di pinggang. Jelaslah, aku menciut. Garis matanya yang tegas adalah kelemahanku. Garis mata yang sangat mirip dengan ayah.

“Ya,,, ya, enggak.” Aku menurunkan tanganku perlahan.” Maaf, nggak lagi.” Ucapku menunduk. Takut.

“Mas maafin.” Diusapnya pucuk jilbabku lembut. Membuatku berani kembali menatapnya.” Siap-siap gih! Mas mau ajak kamu ke rumahnya Yuli.” Ucapnya tenang.

“Hah?” Aku melongo. Seriusan? Nanti aku tidak jadi obat nyamuk kan? Lebih enak nemenin kucing tidur daripada ikut orang pacaran. Beneran.

“Mas pengen serius sama Yuli, makanya pengen kenalin kamu ke keluarganya.” Mas Bayu menarikku dalam dekapnya. Hangat dan nyaman. Selalu kusuka.

“Hanya aku aja?” Aku mendongak dalam peluknya.

Mas Bayu menunduk.” Iya.”
Angguknya.” Nanti kapan-kapan kita kesana lagi sekalian lamaran yang beneran.” Senyum di bibirnya merekah. Aku ikut tersenyum. Ikut berbahagia.

Kueratkan pelukanku. Menikmati kehangatan yang selalu kurindukan. Mungkin nanti aku tak bisa merasakannya setelah masku resmi menikah. Makanya aku ingin menikmatinya. Aku ingin membuat memori lebih agar nanti aku mampu menahan. Namun, semakin aku memeluknya erat, semakin aku berat untuk melepaskannya.

“Zahra sayang mas Bayu.” Ucapku dalam dekapnya.

“Mas Bayu sayang Zahra.” Balasnya mengecup ubun-ubunku.

Aku tersenyum. Tidak ada peluk yang lebih hangat dari pelukan mas Bayu. Tidak ada rengkuh yang nyaman selain dari mas Bayu. Tidak ada senyum yang indah selain senyuman mas Bayu. Tidak ada kata-kata yang menenangkan selain kumpulan frasa mas Bayu. Rasanya, aku ingin memilikinya selamanya. Seorang diri. Agar apa yang kudapat dari mas Bayu hanya untukku sendiri, tidak terbagi. Namun aku juga sadar. Egois. Aku terlalu egois jika menginginkannya.

Hai, Zahra!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang