Mimpi Buruk 2

3 0 0
                                    

Selamat malam,, maaf, aq kelupaan,, rencana sminggu sekali up gagal ternyata😓
Ditambah semakin merebaknya virus Corona,🙁
Temen-temen jaga kesehatan, ya!!! Moga pandemi ini cepat berakhir, amiin🙏🙏

Semalat membaca dan have a nice day!!
---

Tiga hari sudah kejadian itu berlalu. Jenazah ibu sudah dimakamkan dua hari lalu, tepat setelah jenazah dibawa pulang. Kondisi mas Bayu juga jauh lebih baik. Walaupun kadang-kadang aku melihatnya meneteskan air mata dalam diam. Pakdhe Anam dan budhe Riris tidak pernah meninggalkan kami walau sehari pun.

Dan di sinilah kami sekarang. Duduk berdampingan di depan ruang rawat ayah yang masih tertutup rapat. Pakdhe dan budhe sedang di ruang dokter untuk mendengarkan penjelasan mengenai kondisi teraru ayah. Aku dan mas Bayu diminta menunggu di luar. Hening. Tidak ada yang berniat membuka suara. Tak ada lagi usapan atau pelukan menenangkan. Aku terlalu sibuk dengan perasaanku, munkin masku juga begitu.

“Zahra, Bayu.”

Suara berat pakdhe mengambil alih perhatian kami. Wajahnya terlihat begitu lesu. Mungkin terlalu lelah. Setiap hari pakdhe harus mengurus pekerjaan dan pulangnya langsung menuju rumah sakit. Budhe pun juga meninggalkan kegiatannya di rumah demi menemani kami. Bahkan mereka membiarkan mbak Alin dan mas Krisna di rumah bersama asisten rumah tangga.

“Iya, Pakdhe.” Mas Bayu bangkit, tapi ditahan pakdhe Anam. Pakdhe hanya menyuruhnya bergeser agar bisa duduk di antara kami.

“Kondisi ayah gimana, Pakdhe?” Tanyaku. Entah sudah berapa kali aku melayankan pertanyaan yan sama selama tiga hari ini. Dan hanya satu jawaban yang ingin kudengar.

Pakdhe Anam menhembuskan nafas panjang. Menatap kami bergantian dan meremat jemari kami.”Terus berdoa, ya! Ayah kalian masih perlu waktu untuk berkumpul lagi bersama kalian.”

Sungguh, bukan kabar itu yang ingin kudengar. Aku sudah bosan dengan untaian kalimat pakdhe yang meminta kami bersabar dan terus berdoa. Bukannya aku tidak percaya Allah akan menolong, tapi aku berada di titik yang dinamakan takut. Takut kehilangan, takut sendiri, dan takut menghadapi hari esok yang masih abu-abu.

“Pakdhe, jangan bohongin Bayu!” Suara mas Bayu terdengar begitu serak, namun menuntut. Sorot matanya menggambarkan kekecewaan dan kehampaan.

Pakdhe Anam kembali menghembuskan nafas panjang. Mungkin apa yang akan dikatakannya adalah hal yang sangat berat.” Ayah kalian belum menunjukkan kemajuan, bahkan kondisinya cenderung menurun. Kalau terus begini, dokter angkat tangan menangani ayah kalian.” Jelasnya. Suara beratnya semakin serak.

Ya Allah, kenapa harus begini? Ibu sudah ada di sisi-Mu, apa ayah akan menyusul juga? Ayah satu-satunya yang kami punya, dialah harapan kami. Jika diambil jua, siapa lagi yang menjaga kami? Kami masih begitu membutuhkan sosok ayah. Kami masih ingin ditemani ayah. Aku pun juga ingin dinikahkan ayah nanti.

Aku memejamkan mataku. Tidak ada air mata yang meluncur. Air mataku sudah kering untuk menangis sejak hari itu. Tidak ada isakan yang keluar. Karena sekuat apapun aku berusaha, sakitnya malah semakin terasa. Hanya ada ringisan perih yang semakin lama semakin menyiksaku. Tidak tahu lagi harus bagaimana.

“Zahra.”

Suara lembut yang begitu kurindukan memanggilku lembut. Aku menemukan malaikatku dalam pejamku. Ingin sekali aku tersenyum, namun bibir ini begitu berat hanya untuk menarik garis lurus. Anganku mengatakan itu ibu, tapi hatiku menolaknya. Ibu sudah pergi, bahkan jauh tak tersentuh. Aku membuka mataku. Ada mas Bayu yang entah sejak kapan duduk di sampingku. Aku menatapnya. Ikut merasakan kekosongan jiwanya. Aku terisak. Tapi sekali lagi, aku tidak mampu mengeluarkan apapun dari bibir ini.

“Zahra!”

Hai, Zahra!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang