Assalamualaikum,,,
Sugeng dalu semua,,,,
Maaf, aku baru bisa up lagi,, semoga masih betah baca cerita ini,,,
Langsung aja, selamat membaca!!!
----Senyum tak pernah luntur dari bibirku. Liburan keluarga yang kutunggu akhirnya tiba. Sesuai janji ayah dan ibu, hari ini kami berangkat ke Jepara. Ke rumah pakdhe Anam dan Budhe Riris. Suatu perjalanan yang begitu langka. Jarak yang cukup jauh dan kesibukan ayah ibu membuat kami jarang sekali berkunjung.
“Ra, kira-kira mbak Alin udah secantik apa, ya?” Tanya mas Bayu tiba-tiba.
Aku yang sedang bersandar di bahunya mendongak. Melihatnya yang sedang senyum-senyum aneh.” Mas!” Kucubit perutnya kuat-kuat. Senyumnya sudah membuatku tahu apa yang ada di pikirannya.
“Ra!” Mas Bayu menepis tanganku lalu mengusap bekas cubitan mautku.
Kutegakkan tubuhku dan menatapnya tajam.” Jangan jailin terus mbak Alinnya! Nanti kalo beneran suka sama Mas kan bahaya!” Tukasku.
“Enggak akan, kita kan sodara.” Mas Bayu tersenyum hingga mata sipitnya melengkung.
Aku memukul lengannya kesal.” Namanya perempuan itu, pake perasaan. Kalo disentuh terus perasaannya, pasti bakal luluh.”
“Kayak kamu, ya?” Alisnya naik turun dan bibirnya tersenyum jail.
“Kalo aku pengecualian, udah biasa.” Tukasku.
“Ra, Mas ini ganteng loh, nanti kalo ditaksir orang cemburu kamu?” Ucapnya percaya diri.
“PD-nya dikurangin bisa, Mas?” Aku melirik mas Bayu sinis.
“Mas tuh ngomong bukan karena pede, tapi emang faktanya gitu.” Bangganya.
“Mas, jangan godain terus adeknya! Nanti nggak ada yang meluk loh.” Ibu menatap kami dengan senyum hangatnya.
“Iya, Mas. Kalian itu sodara, harus saling jaga! Saling bantu juga! Mas kan udah lulus SMA, tau kan mana yang bener dan salah? Ajarin tuh adeknya, biar pinter dan jadi anak sholehah.” Tambah Ayah.
“Iya, Yah.” Mas Bayu menunduk menyesal.
“Oh ya, Zahra nanti di rumah budhe belajar masak, ya? Budhe tuh jago banget masak, lebih jago dari Ibu. Apalagi gudhegnya, kesukaan Ibu itu.” Ibu tersenyum. Bahagia sekali.
“Iya, Bu.” Aku mengangguk.” Masakan Ibu juga enak kok, buktinya aku jarang makan di luar.” Ucapku bangga. Sejago apapun budhe Riris, masakan Ibu tetap nomor satu bagiku.
“Ra, kamu punya rencana nggak di rumah budhe mau ngapain?” Mas Bayu menatapku. Serius. Membuatku juga ikut menatapnya.
“Istirahat, tidur, capek.” Jawabku asal.
“Yah, Ra!” Rengeknya.” Jalan-jalan yuk! Kemana gitu, cari suasana baru.” Ajaknya.
“Emang Mas tau, mau jalan-jalan kemana?” Tanyaku.
“Enggak.” Mas Bayu menggeleng dan meringis.” Kan ada mas Irul, Ra.”
TIIINNN!!!!!
Suara klakson mengagetkan kami. Tiba-tiba ada sesuatu yang menubrukku dan menghalangiku melihat apa yang terjadi. Terdengar samar-samar suara dzikir yang entah dilafalkan siapa. Hingga tiba-tiba suara tubrukan yang begitu keras menggema di telingaku. Aku sempat mendengar suara jeritan yang mirip suara ibu, tapi aku tidak yakin. Aku juga sempat mendengar suara pekikan penuh rintih yang mirip suara ayah. Aku tidak tahu. Aku tidak yakin. Aku ingin melihat, tapi ada yang menghalangi pandanganku. Gelap, tidak ada yang mampu kulihat saat ini.
Aku merasakan tepukan di pipiku. Menghirup dalam aroma yang begitu kukenal milik siapa. Tunggu! Ada yang aneh. Perlahan aku membuka mataku. Iya, ini aneh. Seingatku aku berada di mobil bersama ayah dan ibu, tapi kenapa hanya ada mas Bayu? Dan bau aneh ini, kenapa semakin kuat tercium? Aku menatap mas Bayu, meminta penjelasan. Baru kusadari, wajah masku kotor dan,,, basah? Aku mengusap pipinya, basah dan sedikit anyir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Zahra!!
Teen FictionIni tentangku. Tentang hidupku dengan kakakku. Sederhana. Namun selalu terkenang sampai saat ini. Ini tentang kisahku. Tentang kebanggaanku dan kekecewaanku. Namun, kisah ini tak mampu kulupa. Karena kisah ini, adalah awal dari cerita luar biasa dal...