Hembusan angin malam menembus t-shirt biru langit lengan panjang yang kukenakan. Menerbangkan jilbab putih yang menutupi rambutku. Aku duduk di tepian kolam renang. Menunggu kehadiran masku yang kini entah dimana. Terhitung hampir satu jam aku menunggu, tapi aku belum juga ingin pergi. Masalah ini harus segera terselesaikan. Aku tidak mau masalah ini semakin besar dan mengakibatkan semakin banyak kesalahpahaman.
Kudengar suara gelas diletakkan. Aku menoleh. Senyum mas Bayu menyambutku. Senyum yang lebih bersahabat. Dan yang terpenting, wajahnya lebih tenang, tidak lagi dipenuhi amarah. Aku tersenyum. Merasa lega.
"Minum dulu!" Mas Bayu menyeruput coklat panas yang dipegangnya.
Baru kusadari ada mug putih berisi coklat panas di sampingku." Terima kasih." Aku tersenyum dan mengambil mug itu dan menyeruputnya. Manis, seperti biasa.
"Gimana?" Mas Bayu tersenyum. Membuatku perasaanku lebih tenang.
"Eh?" Aku menggaruk tengkukku. Mendadak rasa takut menggerayangiku.
"Masih takut? Mau liat Mas marah lagi?" Mas Bayu mengusap jilbabku lembut. Aku menatapnya. Menatap mata lembutnya yang selalu menenangkanku.
"Okay, aku mau cerita." Putusku." Tapi Mas janji nggak boleh marah!" Aku menunjukkan kelingkingku. Mas Bayu menyambutnya dengan senyuman.
"Iya, Mas akan usaha buat nahan emosi Mas kalo emang itu bisa bikin Mas marah." Ucapnya tenang. Seolah meyakinkanku jika apa yang dikatakannya benar adanya.
Aku mencoba mengingat-ingat. Awal masa aku bertemu Adit hingga kini aku pacaran dengannya. Aku tersenyum. Nyatanya semua masa itu masih terekam jelas dalam memoriku. Kutatap mas Bayu yang masih menunggu. Sesekali menyeruput coklat panasnya dan mengambangkan senyum menatap taburan bintang di langit.
"Kamu kerasukan?" Mas Bayu mencubit pipiku.
"Mas!" Kutampik tangan mas Bayu yang berusaha meraih pipiku lagi.
Mas Bayu terkekeh." Ya udah, cepet cerita! Coklat Mas tinggal dikit, ntar pipi kamu Mas minum kalo ini habis."
Aku tersenyum." Aku tau Adit waktu awal masuk abis MOS, lewat absen. Tapi, aku hanya tau namanya aja, nggak tau orangnya seperti apa."
"Emang kamu nggak liat orangnya pas diabsen itu?" Mas Bayu terkekeh. Aku memukul lengannya. Baru awal aja dia sudah menertawakanku, apalagi kalau tahu kelanjutannya." Ya udah, lanjutin!" Ucapnya dengan senyum.
"Enggak!" Aku memalingkan wajahku. Hilang sudah mood bercerita.
"Kenapa?" Mas Bayu memaksaku menatap wajahnya.
"Masih awal aja udah diketawain." Dengusku.
"Ya udah, lanjut! Nanti Mas tahan ketawanya." Mas Bayu mencubit pipiku lembut.
"Dua hari kemudian, pas di kantin, aku ketemu dia lagi, tapi masih belom kenal juga." Aku menyeruput coklat panasku." Waktu itu aku abis beli siomay, saosnya lumer banget. Aku lagi nyari tempat duduk, tau sendiri kantin kalo jam istirahat gimana? Pas lagi nyari-nyari, aku nyenggol orang. Cowok lagi. Sialnya, piring siomay aku tumpah dan saosnya kena ke baju dia."
"Drama banget." Mas Bayu mencubit hidungku.
"Ini tuh beneran!" Aku balik menarik hidung mancungnya, sekuat yang aku bisa.
"Zahra! Sakit." Mas Bayu melepaskan tanganku dari hidungnya. Matanya menatapku kesal, juga tangan kanannya yang terus mengusap hidungnya." Lanjut!" Suruhnya.
Aku terkekeh. Mas Bayu itu lucu kalo kesal." Aku minta maaf sama dia, tapi sebatas ucapan, aku nggak mau bersihin baju dia. Nggak drama kan?" Aku meringis, memang tidak seperti di novel atau film." Dia natap aku, datar, aku takut dia marah. Aku udah bingung banget nyari cara kabur dari dia, tapi dia megang tangan aku dan senyum. Aku sempet mikir dia gila, nyatanya dia ngajak kenalan." Aku tertawa mengingat ekspresinya Adit waktu itu.
"Boleh banget modusnya." Sungut mas Bayu.
"Kayak situ enggak aja sama mbak Yuli." Balasku tak mau kalah.
Mas Bayu meringis." Lanjut deh!" Ucapnya mengusap leher belakang.
"Ya udah, kita kenalan. Baru aku tau kalo yang namanya Adit itu dia. Ganteng ternyata orangnya, tinggi juga. Lebih tinggi dari mas Bayu. Senyumnya juga. Lebih manisan Adit dari mas Bayu."
"Puji aja terus!" Mas Bayu memalingkan wajahnya. Cemburu.
"Tapi kalo sama Adit, Zahra nggak bisa gini." Aku mendekat dan menyandarkan kepalaku di bahunya." Malu kalo sama dia." Gumanku.
"Dilanjut ceritanya!" Tuntut mas Bayu.
"Abis kejadian itu, nggak tau kenapa dia sering banget jadi temen sekelompok aku. Entah yang bagi dia yang notabennya ketua kelas, sekretaris, bahkan pernah undian di meja guru aja kita tetep sekelompok. Aneh kan? Dan itu juga yang bikin Zahra makin deket sama dia. Dari tugas-tugas itu kita sering ngobrol dan kadang makan bareng di kantin."
"Menurut kamu Adit itu gimana?" Mas Bayu mengelus lenganku.
"Baik, dia selama ini jaga Zahra. Nggak pernah macem-macem pas kita barengan. Paling banter kita pegangan tangan aja. Nggak kayak mas Bayu yang berani rangkulan sama mbak Yuli." Aku mencubit perut masku gemas.
"Isshhh!!!" Aku tersenyum mendengar ringisannya.
"Waktu itu, kita mau UTS semester 1. Adit ngajak aku belajar bareng. Nggak jauh-jauh, cuman di taman bunga yang ada di belakang sekolah. Awalnya kita serius belajar, trus pas mau pulang, dia ngasih Zahra buku tulisnya. Suruh buka halaman paling belakang. Di situ ada puisi sederhana banget, tapi ya, ngena. Buktinya aku baper sampe sekarang." Aku tersenyum mengingat setiap kata dalam puisi yang sampai sekarang masih kusimpan rapi di tempat yang tak terjangkau mas Bayu." Abis aku baca, aku minta penjelasan sama dia. Katanya dia nyaman sama aku, katanya aku nggak banyak nuntut kayak cewek-cewek yang dulu deketin dia. Dia pengen aku jadi pacarnya." Aku tersenyum. Menusap pipiku yang mulai kepanasan.
"Zahra, kamu polos baget sih!" Mas Bayu mencubit pipiku gemas." Trus kamu terima gitu aja?" Tanyanya.
"Mana bisa? Kita baru kenal, Mas." Aku mencubit perutnya. Menyalurkan kekesalanku sekaligus balas dendam dengan perlakuannya untuk hidung kesayanganku." Aku kasih dia syarat untuk selalu jaga kesopanan selama pacaran sama aku. Aku hanya akan kasih dia toleransi buat pegang tangan, nggak lebih. Dan dia setuju. Ya udah, aku terima dia jadi pacar aku." Aku mendongak. Menatap mas Bayu yang saat ini juga menunduk menatapku.
"Apa semudah itu dia nerima syarat kamu, Ra?" Mas Bayu memicing curiga. Aku mendesis.
"Awalnya Zahra nggak percaya, tapi dia baik-baik aja. Aku juga nggak nyangka dia bakal betah sama model pacaran kita ampe setahun lebih. Pastinya pacaran yang nggak neko-neko kayak Mas!" Aku menatap mas Bayu tajam." Walaupun Mas itu ganteng, tapi ngak seganteng Adit, udah lumayan kok kalo disanding pas kondangan. Walaupun Mas senyumnya manis, tapi sekali lagi manisan Adit, cukuplah buat pemandangan. Walaupun Mas kadang rese dan emosian, tetep kok kalo Mas itu ATM berjalan aku." Aku tersenyum. Mengangkat kepalaku dari bahunya dan menatapnya dengan alis naik turun.
"Kamu muji apa gimana sih, Ra?" Desis mas Bayu mencubit hidungku lagi.
"Ini nih, aku pengen rasain, tapi dari Adit." Aku menggoda masku yang mulai kumat overprotective-nya.
"Nggak boleh!" Sergahnya cepat.
"Enaknya mas Bayu bisa ngapain aja sama mbak Yuli." Gerutuku.
"Emang kalo ada apa-apa Adit mau tanggung jawab?" Sinisnya.
"Emang situ udah siap nikahin mbak Yuli?"
"Iyalah."
"Yaudah, nikahin! Daripada setannya makin banyak."
"Zahra!" Mas Bayu mengeram." Ini masalah kamu, bukan Mas." Sergahnya.
"Bilang aja kalah!" Tukasku.
Kami terdiam. Melayang tinggi di dalam angan. Aku kembali menyandarkan kepalaku di bahu mas Bayu. Rasanya tenang. Aku jadi punya alasan lagi untuk mencoba melupakan apa yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Sesuatu hal menyakitkan yang mengubah seluruh kehidupanku dengan Masku.
***
Selamt malam Rabu,,,,😊😊😊
Sekedar info, ini cerita emang ringan banget konfliknya,, ada cinta-cintaan, tapi lebih dominan brothersister-nya,,,
Hope you like it😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Zahra!!
Teen FictionIni tentangku. Tentang hidupku dengan kakakku. Sederhana. Namun selalu terkenang sampai saat ini. Ini tentang kisahku. Tentang kebanggaanku dan kekecewaanku. Namun, kisah ini tak mampu kulupa. Karena kisah ini, adalah awal dari cerita luar biasa dal...