Bayu's pov
Malam Minggu ini mungkin menjadi keberuntungan Zahra. Sedari tadi aku berdoa agar tidak ada pasar malam, tapi baru dua puluh menit perjalanan, kami sudah sampai.
"Hati-hati, Ra!"
Betapa senangnya adikku saat turun dari mobil. Bahkan, dia jingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Kutautkan jemariku begitu berdiri di sampingnya. Sontak tatapan penuh tanya terarah padaku.
"Mas kenapa?" Tanyanya. Dari wajahnya aku tahu dia kurang suka, tapi dia tidak melepaskan tanganku.
"Emang kenapa?"
Satu cubitan mendarat di perutku. Peerriihhhh. Aku menatap Zahra tidak terima. Jelas, siapa yang mau merasakan cubitan maut Zahra? Tingginya boleh hanya sebahuku, tapi kekuatannya mampu menyobek kulitku.
"Ra, kok dicubit sih? Mau jadi adek durhaka kamu?" Tangan yang sebelumnya menggenggam jemari Zahra kini beralih mengusap perut. Sumpah, ini perih.
"Mas tuh emang pantes dicubit. Ngeselin." Tukasnya.
"Ngeselin gimana, Ra?" Seingatku, aku tidak berucap banyak setelah berhasil membujuk adik manjaku ini. Apalagi yang salah, ya Allah?
"Kita udah sampe, kenapa berdiri di sini terus?" Bibirnya maju beberapa senti.
Aku hanya mampu menepuk jidat. Kupikir sedari tadi dia uring-uringan karena kugenggam tangannya seperti orang pacaran, ternyata itu.
"Ya udah, ayo!"
Kembali kugenggam tangannya. Dia tidak protes. Entah mengapa, senyumku merekah begitu saja. Hatiku berbunga-bunga tanpa aku menyemai. Bisa menerbitkan senyum Zahra itu, sesuatu.
"Mas, pengen itu."
Kuikuti arah telunjuknya. Permen kapas. Aku mengangguk. Permen kapas tidak ada apa-apanya dibanding senyum adikku.
"Mau yang mana?" Persis menawari anak kecil. Tapi Zahra sepertinya tidak perduli, dia menunjuk permen kapas berbentuk beruang." Ambil aja, Ra!" Kubuka dompetku dan membayarnya.
"Makasih, Masku." Ucapnya berbinar.
"Sama-sama." Kuusak pelan pucuk kepalanya yang tertutup jilbab. Canteknya adekku.
"Mas, udah berapa lama kita nggak jalan-jalan gini?" Tanya Zahra sambil menikmati permen kapasnya.
"Hm?" Aku mencoba mengingat-ingat, tapi aku lupa." Nggak tau, Ra." Aku meringis.
Zahra berdecak." Tau nggak? Kita udah lima bulan nggak hangout bareng. Kerja mulu sih." Gadis itu melangkah meninggalkanku yang membeku.
Benarkah? Apa selama itu aku membiarkan Zahra sendiri di rumah? Ah, aku ingat. Akhir-akhir ini aku begitu sibuk mengembangkan cafe dan memperbaiki keuangan minimarket yang berantakan. Tapi seingatku, aku baru jalan-jalan dua minggu lalu bersama seorang gadis. Dia berjilbab. Kalau bukan Zahra, gadis itu siapa?
"Mas!!"
Aku mengerjap. Melihat sekeliling mencari sumber suara. Ada apa denganku? Zahra sudah berdiri jauh di depan dan aku masih diam di tempat. Aku tersenyum dan menyusulnya. Jangan sampai dia marah lagi.
"Ngelamun, ya?" Tembaknya begitu aku berdiri di depannya.
Tanpa menjawab aku merangkulnya. Menariknya berjalan mengitari pasar malam." Kita nikmatin malam ini." Sungguhku.
"Mas, jangan rangkul-rangkul! Nanti dikira pacaran." Zahra berusaha melepas lenganku, tapi aku semakin menariknya hingga menempel di tubuhku." Mas!" Pekiknya.
"Biar kamu juga tau gimana rasanya diginiin, nggak cumn liat di drama doang." Aku menyentil hidungnya gemas.
"Mas, mau itu."
Zahra mengeluarkan telunjuknya. Kali ini tertuju pada lapak boneka. Aku hanya menghembuskan nafas. Pasrah. Lima bulan tidak diajak jalan-jalan, sekali jalan langsung menguras dompet.
"Iya."
Zahra menarik lenganku. Dari beberapa lapak boneka, ada satu lapak yang begitu sepi. Tidak ada yang datang sekedar melihat seperti lapak yang lain. Bonekanya terbungkus plastik dan terawat.
"Mas, mau ini." Boneka beruang jumbo sudah ada di pelukan Zahra. Tanpa malu, gadis itu mengusakkan pipinya dengan pipi beruang itu. Padahal masih terbungkus plastik. Aku iri.
"Berapa, pak?" Tanyaku pada seorang bapak yang duduk di sana.
"Maaf, saya bukan yang punya. Itu orangnya." Bapak itu menunjuk arah belakangku. Aku berbalik dan menemukan seorang kakek mendekat.
"Terima kasih sudah jagain tempat kakek." Ucap kakek itu.
"Sama-sama, Kek. Saya permisi." Bapak itu berlalu pergi setelah mendapat anggukan dari Kakek.
"Ada yang bisa Kakek bantu, Nak?" Tanya Kakek dengan senyum ramah.
"Saya mau beli boneka itu, Kek." Kutunjuk boneka yang masih dipeluk Zahra." Berapa, Kek?" Tanyaku
"Itu boneka Kakek sudah sangat lama, coba dilihat dulu! Mungkin ada cacatnya." Terang Kakek ramah.
"Iya, Kek." Demi meyakinkan, aku mengiyakan saja." Ra, buka dulu boneknya! Kakek mau cek."
Zahra merengut. Namun ia mendekat dan membuka plastik yang menutup seluruh bagian boneka." Bagus kok, Kek. Masih enak dipeluk." Boneka itu kembali dipeluknya setelah melihat beberapa bagian sisi.
"Bener masih bagus, Dek?" Kakek meyakinkan. Hanya anggukan yang mewakili jawaban Zahra.
"Ya udah, Kek. Berapa harganya?" Ulangku.
"Tiga ratus ribu saja, Nak." Jawab Kakek tanpa menghilangkan senyumnya.
Kuambil beberapa lembar uang dari dompet lalu menyerahkan pada Kakek." Ini uangnya, saya permisi." Segera kutarik Zahra meninggalkan lapak itu. Pergi sejauh mungkin ke tengah kerumunan.
"Mas, itu kakeknya kenapa kayak teriak-teriak gitu?" Zahra menatapku bingung, tapi kakinya masih swtia mengikutiku.
"Uangnya lebih, biar buat makan kakeknya." Bisikku tanpa berhenti melangkah.
"Oh." Zahra tersenyum. Akhirya, senyumnya terbit juga." Mas, mau itu dong."
Lagi-lagi telunjuk Zahra bergerak. Aku hanya meneguk ludah begitu tahu apa yang menjadi tujuannya.
"Kamu sendiri, ya?" Tawarku. Gelengan kepala langsung kudapat." Nanti mie ayamnya dobel."
Bujukku."Mas Bayu, ayo!" Zahra menarik lenganku. Pasrah aku mengikutinya." Nanti aku peluk." Ucapnya dengan senyuman. Entah apa, mau-maunya aku mmengangguk." Sayang mas Bayu."
Sebuah kecupan berlabuh di pipiku. Membuatku melayang jauh ke awan. Tak apa aku melawan diriku sendiri, hadiah ini begitu indah. Tidak jarang kudapat, tapi selalu berharga.
--
Ngapunten atas halu yang berlebihan😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Zahra!!
Teen FictionIni tentangku. Tentang hidupku dengan kakakku. Sederhana. Namun selalu terkenang sampai saat ini. Ini tentang kisahku. Tentang kebanggaanku dan kekecewaanku. Namun, kisah ini tak mampu kulupa. Karena kisah ini, adalah awal dari cerita luar biasa dal...