Luar Biasa

11 6 0
                                    

Mas Bayu itu tipe orang yang perhatian, pengertian, dan murah senyum. Sebanyak apapun masalahnya, tidak pernah tergambar jelas di wajahnya. Sedih atau senang hanya bisa dilihat saat dia sendiri. Entah tiba-tiba menangis atau membaca buku-buku koleksinya.

Hari ini, setelah kemarin mengajak Adit bicara, mas Bayu berubah. Wajahnya tidak bersahabat. Murung. Seperti sedang memikirkan seauatu yang entah itu apa. Beberapa kali ketahuan melamun, tapi selalu mengelak. Beberapa kali membuka mulut, tapi kemudian tertutup kembali.

"Mas kenapa?" Kuberanikan diri memulai. Melihat gelagat yang seperti itu, sepertinya mas Bayu tidak berniat berucap terlebih dahulu.

"Enggak pa-pa."

Sarapan kami berlangsung dalam hening. Tidak ada lagi suara selain dentingan sendok dan piring. Aku jadi penasaran, kira-kira apa yang membuat masku sampai begitunya?

"Mas berangkat dulu, Ra. Udah Mas pesenin ojol buat kamu, bentar lagi dateng."

Tuh kan, apa kubilang? Mas Bayu tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya lewat tingkah laku. Dia tidak terbiasa bercerita secara gamblang, hanya orang-orang di sekitarnya yang harus peka.

"Waalaikumsalam." Gumanku setelah kepergiannya.

Aku mengakhiri sarapan dan mencuci peralatan makan yang kotor. Menutup sisa makanan yang masih di atas meja dan mengambil tas lalu mengunci semua pintu.

Saat mengunci pintu teras, pintu terakhir yang kukunci, kulihat ada mobil terparkir di depan gerbang. Aku menghampirinya. Seorang wanita keluar dan mengucap salam dengan ramahnya.

"Assalamualaikum, selamat pagi. Apa benar dengan mba Zahra?"

"Waalaikumsalamwarahmatullah. Benar mbak, saya Zahra." Kubuka pintu gerbang lalu menutup dan menguncinya.

"Berangkat sekarang, Mba?"

"Iya."

Aku masuk dan duduk di jok penumpang setelah mbaknya masuk dan siap di kursi kemudi. Hamparan sawah dan ributnya kenalpot tak mampu menenangkan pikiranku. Semua tertuju pada mas Bayu. Apa yang telah terjadi? Kenapa dia tiba-tiba mendiamkanku? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ah, pusing aku memikirkannya.

***

"Sudah sampai, Mba."

Suara mba driver membawaku kembali ke dunia nyata. Aku melihatnya melirikku lewat spion, kubalas ia dengan senyum kaku dan anggukan kepala.

"Berapa, Mbak?" Kucari dompetku di dalam tas, namun suara mbak driver mengambil perhatianku.

"Sudah dibayar, Mba. Tadi masnya langsung bayar pas saya sampe."

"Oh, makasih, Mbak." Zahra mengucap salam lalu keluar dari mobil.

Begitu turun, aku langsung melangkah menuju koridor utama. Berjalan cepat memotong waktu untuk sampai di kelas. Aku tidak mau pikiranku semakin rumit karena mas Bayu. Jika masku tidak mau mengatakan apapun, aku bisa bertanya pada orang lain yang bersangkutan.

Dia ada di sana. Duduk seorang diri di kursi deepan kelas dengan ponsel di genggamannya. Sepertinya sangat serius. Tapi begitu aku duduk di sampingnya, dia keburu menyadari dan mengantongi benta pipih itu.

"Assalamualaikum, kok pagi-pagi udah murung aja?" Dia tersenyum manis. Namun entah mengapa, kali ini aku tak bisa ketularan senyumnya. Dia menatapku semakin dalam. Seolah mencari sesuatu dalam kedua bola mataku.

"Waalaikumsalam." Aku segera menunduk. Jantungku berlarian saat mata itu menusukku." Aku ingin bertanya, boleh?" Aku tak berani menatapnya. Memilih menunduk menyebunyikan wajahku.

Hai, Zahra!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang