4. it's okay to cry

170 44 12
                                    

"Lo pasti udah liat undangannya kan?"

Hana yang tengah memasang seat belt menghentikan kegiatannya sebentar untuk menatap Minhyuk, "Undangan apa?"

"Seola."

"Gue baru tau kalian udahan," ucap Hana hati-hati, dia berusaha untuk tidak menyinggung masalah pertunangan Seola, tapi Minhyuk malah membahasnya.

Minhyuk menarik napas panjang, lantas menyalakan mesin mobilnya, "Tiga bulan yang lalu Seola cerita ke gue kalau ada cowok yang deketin dia, temen sekolahnya dulu."

"Terus?"

"Gue ga terlalu ambil pusing, karena ini bukan pertama kalinya Seola bilang ke gue kalau ada yang deketin dia."

Hana mengangguk setuju, "Inget banget dulu anak angkatan kita banyak yang mau mepetin Seola, tapi dia justru tetep milih lo."

"Sebulan kemudian, gue ketemu kakaknya Seola, dia nanyain tentang hubungan gue. Waktu ditanya kira-kira ada rencana buat nikahin Seola dalam waktu dekat atau enggak, gue cuma bisa diem. Abis itu kakaknya Seola cerita, ada cowok yang mau serius sama adeknya, dan keluarga mereka udah saling kenal," Minhyuk menjeda sejenak perkataannya untuk memastikan bahwa Hana masih mendengarkan dia.

"Gue ga tidur kok, lanjutin."

"Seola minta waktu buat mikir, karena dia berharap gue mau ngelanjutin ke hubungan yang lebih serius, supaya bisa nolak si cowok itu. Tapi gue bilang belum siap."

Kali ini bukan hanya Minhyuk yang menghela napas panjang, Hana juga. Dalam hati dia menyumpahi kebodohan Minhyuk.

"Gue kira Seola tetep mau nungguin gue, dan orangtuanya pun bakalan memaklumi. Ternyata enggak, keluarga dia udah ngerasa cocok banget sama cowok itu, dan Seola ga punya pilihan lain. Dia ga punya pembelaan karena gue terus-terusan bilang belum siap," lanjut Minhyuk.

"Lo udah pernah liat cowoknya?" tanya Hana, yang dijawab Minhyuk dengan anggukan.

"Udah, Seola nunjukin fotonya."

"Gimana?"

"Keliatan banget udah mapan secara mental dan finansial. Gue ga ada apa-apanya," keluh Minhyuk tanpa mengalihkan fokus dari jalanan di hadapannya.

"Sebenernya yang ngebuat lo ga siap itu apa? Kalian kan udah pacaran lebih dari enam tahun, udah tau kejelekan masing-masing."

"Semuanya. Gue ngerasa kalau gue egois dan pola pikir gue masih kekanak-kanakan. Tabungan gue juga belum cukup buat ngelaksanain pernikahan," ujar Minhyuk pelan, namun Hana masih bisa mendengarnya dengan jelas, "pada akhirnya, nikah itu bukan soal seberapa lama kita menjalin hubungan, tapi soal kesiapan."

"Jadi ini alasan kenapa lo minum-minum kemaren?"

Minhyuk mengangguk, "Seola udah minta putus dari lama, tapi gue ga mau. Beberapa hari yang lalu dia bilang kalau tanggal pertunangannya udah ditentuin. Waktu dia nunjukin undangannya, baru lah gue setuju buat ngakhirin hubungan."

Kalau begini, tidak ada yang bisa disalahkan. Hana paham situasi Seola, mempertahankan seseorang yang belum ada keinginan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, bukanlah hal yang mudah.

Di sisi lain dia juga mengerti posisi Minhyuk, pernikahan bukan cuma tentang menyatukan dua insan, namun juga dua keluarga. Memutuskan untuk menikah berarti setuju menghabiskan seluruh sisa hidup bersama dengan kekurangan satu sama lain.

Jika Seola memilih Minhyuk, sama dengan dia menyia-nyiakan orang lain yang benar-benar serius kepadanya.

Menikah tidak hanya bermodalkan cinta. Banyak yang perlu dipikirkan matang-matang, dan Minhyuk merasa dirinya belum siap untuk itu.

Hana mengenal Minhyuk selama sembilan tahun, mereka merupakan teman satu jurusan di perguruan tinggi, dia menjadi saksi bagaimana hubungan lelaki itu dengan Seola.

Dalam menghadapi masalah, Seola cenderung lebih dewasa dibandingkan Minhyuk. Hana ingat sekali ketika keduanya bertengkar hebat, Minhyuk malah kabur ke luar kota selama tiga hari. Seluruh kontak Seola diblokir, sehingga gadis tersebut meminta tolong Hana untuk menghubungi Minhyuk dan meminta maaf lebih dulu.

"Gue mau mati aja rasanya," kata Minhyuk setelah terdiam cukup lama. Tidak ada yang berinisiatif untuk beranjak meskipun mereka sudah sampai di tempat tujuan.

Minhyuk tertawa miris, "Pengecut banget ya gue. Ga berani ambil risiko buat nikahin Seola, tapi juga ga rela dia sama orang lain."

Hana bisa melihat mata temannya itu berkaca-kaca. Wajar saja, melepas perempuan yang dicintainya lebih dari enam tahun pasti sangatlah sulit.

"Ga usah ditahan. Kalau mau nangis, ya nangis aja," kata Hana seraya mengalihkan pandangan dari Minhyuk, memberikan ruang kepadanya untuk mengeluarkan air mata.

"Gue udah janji ke diri sendiri ga akan nangisin Seola, tapi kayaknya gue ga sanggup."

"It's okay to cry," Hana menepuk pelan pundak Minhyuk, namun tatapannya tetap mengarah ke depan, "Gue pas abis putus sama Wonho nangis seminggu, padahal gue pacaran sama dia cuma setahun. Gimana lo yang udah enam tahun pacaran sama Seola."

Wonho adalah mantan terakhir Hana, sekaligus yang terlama menjalin hubungan dengannya. Mereka putus karena Wonho ditempatkan untuk bekerja di luar negeri oleh kantornya, sementara Hana tidak bisa berhubungan jarak jauh. Demi kebaikan masing-masing, mereka memilih untuk berpisah.

Selama beberapa menit, Hana mendengar suara selain isakan pelan yang keluar dari mulut Minhyuk. Untuk pertama kalinya, dia melihat seorang Lee Minhyuk yang tampak selalu ceria itu menangis.

Saat Minhyuk mulai tenang, Hana mengeluarkan tisu dari dalam tas, "Take your time. gue keluar dulu, mau liat mobil gue."

"Han," lirih Minhyuk dengan suaranya yang parau.

Merasa namanya dipanggil, Hana menoleh, "Kenapa?"

"Bantuin gue ngelupain Seola."

how to deal with a breakup | hana, minhyukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang