Kepala Nanda masih berat dan berputar-putar, terasa seperti tertimpa karung beras berkilo-kilo. Matanya panas dan enggan terbuka dengan mudah, padahal ia yakin sudah berada di tempat redup dan menenangkan.
Lelaki pucat itu berkali-kali mengatur napas. Ia sudah sadar, tetapi entah kenapa masih enggan bangkit untuk meneruskan segala rentetan acara OSPEK yang belum selesai. Dadanya masih nyeri dan sesak secara bersamaan. Ingatan tentang sarapan belumlah hilang. Obat juga tidak pernah absen. Lantas, mengapa hasrat ingin muntah terus mendesak perut dan tenggorokannya? Sial!
Sekuat tenaga Nanda mencoba membuka mata. Air matanya mulai mengering dan meninggalkan bercak putih yang menjijikkan. Pandangannya liar, mencari-cari siapa yang dapat membantunya saat ini.
"Pe-permisi ...." Suara Nanda terbata-bata.
Seorang gadis berseragam KSR-PMI mendekatinya dengan tergopoh-gopoh."Kamu sudah sadar?"
Pakai nanya lagi. "Ma-maaf, mau ...."
Nanda memiringkan tubuh dan membekap mulutnya erat. Gadis itu terlampau peka dan segera mengambil nierbeken. Ia menaruh benda tersebut tepat di bawah mulut Nanda, sebelum laki-laki itu mengeluarkan isi perutnya.
"Hoek!"
Shit! Pahit, pahit, pahit!
Seketika tubuh Nanda melemas. Ia mulai menikmati pijatan di area tengkuk yang sedikit membantu. Gadis yang sudah ia pastikan adalah senior--entah dari jurusan apa--itu membuatnya nyaman sampai lupa diri. Nanda kembali merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Jam dinding baru menunjukkan pukul sebelas, berarti ia masih punya waktu sampai istirahat siang usai.
"Udah?"
"Sudah, makasih, Kak. Maaf merepotkan."
Gadis itu mengangguk. "Suhu tubuhmu lumayan tinggi. Dokter klinik nyaranin buat periksa ke rumah sakit. Kalau nggak kuat, kamu izin aja ke panitia, minta pulang gitu. Nanti kita bisa buatin suratnya."
Sungguh tawaran yang menggiurkan. Pulang di saat yang lain menikmati penderitaan, siapa yang tidak mau? Namun, Nanda hanya tersenyum dan menggeleng.
"Saya lanjut kegiatan aja, Kak. Tanggung, udah nugas juga. Masih istirahat, kan?"
Gadis itu mengangguk lagi. "Iya. Kamu bisa istirahat dulu di sini. Aku tinggal nggak apa-apa, ya?"
Tentu saja Nanda mengiakan. Ia tidak mungkin menahan siapa-siapa. Namanya saja ia tak tahu, apalagi itu. Ia lantas menarik sudut bibirnya seraya membungkukkan badan saat sang penolong hilang dari pandangan.
Lelaki yang rona wajahnya bak kepiting rebus itu menumpuk bantal agar lebih tinggi. Hal ini membuatnya nyaman dan tak lagi merasa mual. Tangannya beralih pada ponsel yang sejak tadi menyala. Ia sengaja mematikan suara dan getarannya agar tak mengganggu.
Dari: Mas Dian
Makan siang sama apa?
Nanda mendengkus. Kakaknya sama sekali tidak kreatif. Tiga kali sehari ia bertanya apakah Nanda sudah makan, hampir lima kali sehari ia bertanya Nanda sedang apa, dan lebih dari sepuluh kali sehari ia bertanya apakah Nanda baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Teen Fiction[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...