Mungkin, seperti inilah wujudku di masa lalu. Teguh, bodoh, dan tulus. Binar mata dan senyum itu … sungguh, siapa pun tak akan berani menyakitinya. Entah aku yang beruntung atau dia yang terlewat sial. Berurusan dengan kaum sepuluh persen sepertiku tak akan bertahan lama.
Sungguh, tak ada yang memuakkan kala seseorang menghantuimu sepanjang hari. Namun, suara manja yang menghampiri gendang ini mengusir segala ego yang membendung. Sekuat apa pun aku mencoba pergi, dia selalu punya cara untuk menarik, menyusul, dan berdiri di sampingku kesekian kali.
Aku bukan ketagihan, kan? Hanya karena menghawatirkan sosok itu mengundurkan diri. Serumit apa pun masa yang ia tinggalkan, bukanlah urusanku. Kini dan nantilah yang harus kutanyakan. Apakah ia masih tetap sama?
Apakah ini ego? Aku kembali ego dalam dimensi lain? Argh ….
"Nda?"
Pemilik nama itu belum tersentak dari lamunannya hingga Caroline tetap bergeming. Sedikit saja gadis itu bergeser, jantungnya bisa jatuh begitu saja. Durasi saling tatap yang cukup lama ini hanya diantar oleh satu kalimat, lalu hening pun menyusul. Ia sungguh berharap Nanda lekas melepasnya, sebelum ia lupa cara bernapas dengan benar.
"Nda?" panggil Caroline sekali lagi.
Lelaki itu lantas tersadar diri dan melonggarkan pelukannya. Ia mengusap wajah dan mengalihkan pandangan. Caroline pun berdeham beberapa kali untuk mengusir rasa canggung.
"Ehm, haus."
Dengan tangan bergetar, Caroline mengambil gelas yang ada di atas nakas. Ia segera beranjak untuk mengambil air di dispenser. Namun, Nanda menahannya.
Caroline pun terpaku. Ia tak berani sedikit pun menatap Nanda. Hatinya kembali menjerit dan bertanya-tanya, mengapa peran mereka hari ini bak tertukar, tak seperti biasanya.
"Duduk dulu."
"Ada apa?"
"Gue serius."
Caroline menelan ludah. "Maksud lo?"
"Lo belum bosan, kan?"
"Tergantung."
"Gimana?"
"Iya, tergantung. Gue bakal tetep ngelakuin itu," ucap Caroline seraya mengangkat tangannya yang masih digenggam erat oleh Nanda, "asal lo nggak lupa buat gue tangkap."
Nanda berkedip pelan, mengamati kejujuran gadis yang suaranya tak bergetar, begitu pula tatapan dan senyumannya. Ia pun mengembuskan napas panjang dan tersenyum. Ia juga mengangguk, kemudian melepaskan tangan Caroline.
"Makasih, ya."
"Iya, sama-sama. Gue keluar dulu."
Setelah itu, Caroline pamit. Ia masih punya segudang aktivitas yang mencekik. Berurusan dengan Nanda bukan satu-satunya yang harus ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Novela Juvenil[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...