Langkah Caroline kian dipercepat. Amarahnya mendidih dan meletup-letup. Ia tak sabar untuk segera menendang pintu kontrakan milik sang mantan yang berani-beraninya menyakiti Nanda.
"Lo kenal Ramsi?"
Gadis itu terus menggeleng, mengusir ingatan yang makin membuatnya meluap-luap. Paras cantiknya sontak dihiasi kerutan pada kening, alis bertaut, dan mulut yang mengerucut sempurna. Entah setan apa yang tengah merasuki dirinya saat ini.
"Dia … mantan lo, bukan?"
Awan menggelap, meninggalkan bintik-bintik bintang yang mempercantik langit. Jalanan yang biasanya ramai akan lalu-lalang mahasiswa terlihat sepi dan cukup membuat bulu kuduk bergidik. Namun, Caroline tetap setia menjajaki gang kecil yang minim penerangan.
"Gue nggak mau pede atau apa pun itu, tapi lo paham maksudnya, kan, Lin?"
Caroline mengatur napas, seiring dengan kaki yang mengentak-entak. Ia mengetuk pintu dengan brutal tanpa mengucap salam. Gadis itu sudah masa bodo. Lagi pula, tetangga sekitar sana sudah menutup pintu rapat-rapat dan dapat dipastikan telah jauh terlelap.
"Buka, Ram! Brengsek! Tai! Buka, tolol!"
Tak pantang menyerah, Caroline mengintip lewat jendela di samping pintu. Benda bening itu tak banyak membantu karena banyaknya debu yang bertebaran.
"Sial!" Caroline menggedor pintu lagi. "Ramsi!"
Gadis itu kehilangan kesabaran. Ia benar-benar ingin meluruskan segala hal sebelum rasa kantuk datang dan memaksanya pulang. Ia merelakan kaki mungilnya untuk menendang pintu tak berdosa.
Namun, seorang lelaki setengah sadar tengah membuka pintu. Tangannya masih sibuk memegang kenop dan satunya lagi mengusap wajah.
Caroline seketika tertegun. "Kak Bas?"
Peristiwa itu membuat Caroline syok luar dalam. Saat kembali ke indekos, Bena tak berhenti mengusap rambutnya, berusaha menenangkan. Hampir semalaman ia begadang demi menemani sang sahabat yang bergulat dengan air matanya sendiri.
"Udah, dong, Lin. Mau jam empat lo ini."
Caroline masih sesenggukan. Tatapannya sayu dan penuh rasa bersalah. Binar lucu yang biasa terpancar di sana lenyap seketika.
"Gue udah pernah bilang, kan, kalau putus dengan cara gini, tuh, pilihan konyol. Lo, sih, nggak bisa dibilangin."
Caroline pun bangkit. Tatapannya kosong, membuat Bena menelan ludah. Aura gadis di depannya ini tidaklah baik-baik saja.
"Sori, Lin. Gue nggak bermak--"
"Nggak pa-pa. Gue sadar diri aja," potong Caroline.
"Lin--"
"Lo mau ceramah apa lagi?"
Bena menggeleng. "Nggak. Gue cuma mau tau, apa yang bakal lo lakuin sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Teen Fiction[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...