Caroline termangu. Ia tak lekas memasuki kamar rawat Nanda. Kedua tangan masih menggenggam keranjang buah yang ia beli di depan rumah sakit. Salah satu bentuk penetralan rasa gugup yang tiba-tiba datang.
Jelas, Caroline dapat melihat lelaki lain yang belum pernah ia jumpai. Raut wajahnya cukup mirip dengan Nanda, terlebih di bagian lesung pipi yang terlihat samar walau tak sedang tersenyum. Tatapan lelaki itu pada Caroline cukup membuat nyalinya menciut. Rasanya ia ingin mundur dan lari sejauh-jauhnya saja.
"Olin?"
Gadis itu lantas tersenyum manis. Ia menutup bibirnya rapat, enggan menjawab, atau lebih tepatnya takut salah ucap. Ia tak berpikir akan ada makhluk lain selain Nanda di kamar ini. Sial, ia tak mau terlihat murah di depan calon kakak ipar atau siapalah itu--halusinasinya terlalu tinggi.
Kenapa pula Nanda tak lekas berkedip? Lelaki itu terus menatapnya seakan-akan ingin menelan hidup-hidup. Bisa-bisa Caroline kencing berdiri saking gugupnya. Lebay, memang, tetapi tidak ada perumpamaan lain yang terpikirkan.
"H-hai."
"Kok lo bisa ke sini?"
"Hm, tanya-tanya," jawabnya singkat, padat dan tidak jelas.
Nanda mendengkus. "Iya ngerti, maksud gue--"
"Sstt, cukup. Bukannya disuruh duduk, malah diinterogasi."
Dian memotong percakapan, lalu menghampiri gadis yang masih mengenakan baju hitam-putih itu. Ia lantas meraih keranjang buah yang ia bawa tanpa permisi. "Makasih, ya. Ayo, duduk dulu."
Secepat kilat Caroline mengangguk dan mengikuti langkah Dian yang menuntunnya menuju sofa. Dengan canggung, ia merapikan rambutnya ke belakang telinga dan duduk manis. Kakinya menutup rapat serta tangannya menempel di kedua paha--mirip Putri Solo.
"Namanya siapa?" tanya Dian.
Caroline menelan ludah. Ia tak sanggup menatap mata lelaki di sampingnya. Gadis itu terus menatap bumi dan Nanda bergantian. Apa-apaan ini? Kenapa jantungnya berdegup secara tak santai?
"Ca-Caroline, Kak. Panggil aja Olin."
"Oh, Olin, satu jurusan sama Nanda?"
"I-iya."
Nanda hanya memperhatikan kakaknya sembari menggeleng. Entahlah, apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Orang yang baru saja melarangnya menginterogasi itu sekarang melakukan hal yang lebih parah.
"Aku Dian, kakaknya Nanda. Panggil saja 'Mas Dian'."
Caroline mengangguk malu. Lagi-lagi ia merapikan rambutnya yang sama sekali tak acak-acakan. Ia menunduk dan menata lagi duduknya, lebih rapat dan makin rapat. Ia bahkan meremas roknya sendiri saking geregetan.
"Oiya, Mas boleh minta tolong nggak, Dek Olin?"
"Minta tolong apa, Mas?"
"Mumpung ada kamu, Mas tinggal dulu, nggak apa-apa? Belum mandi, nih, dari tadi malem. Bisa, kan, nitip Nanda bentar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Ficção Adolescente[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...