Caroline menopang dagu dan tersenyum manis. Buku berisi sekelumit teori sosial tak menarik sama sekali. Ia lebih memilih menatap sang pujaan hati yang untuk kali pertama mengenakan kacamata bulat dan bertali.
Perlahan, gadis itu meraba-raba isi tas, mencari ponsel yang tertimpa compact powder dan juga liptint. Dengan cepat ia mengubah mode diam dan mengarahkan kamera pada lelaki di depannya. Satu, dua, tiga, lebih dari lima jepretan ia ambil dengan sudut pandang yang berbeda. Yes, serunya dalam hati.
Nanda mendongak, merasa ada yang tidak beres. Caroline dengan jurus seribu bayangan segera menyembunyikan ponsel di sela pahanya. Tangan kirinya mengecoh situasi dengan menunjuk barisan kata yang tak ia baca sebelumnya. Gadis itu tampak sibuk membaca dari ujung ke ujung, berusaha senatural mungkin.
Seketika Nanda membenahi letak kacamatanya yang sengaja diturunkan. Persis seperti kakek-kakek saat membaca koran sambil meminum kopi. Tentu Nanda membawa minuman tak konsisten--susu merek beruang--favoritnya. Sekali ia memandang Caroline yang masih menunjuk paragraf yang sama, lalu memalingkan pandangan.
"Permisi," ucap seorang gadis tiba-tiba, ditemani kawannya yang bersembunyi di balik punggung.
"Iya?" Nanda-lah yang menjawab.
Caroline menatap pengganggu momen mereka dari bawah sampai atas. Gadis pertama mengenakan sneakers kualitas buy one get one free, rok pendek yang nanggung, kaus kuning bergambar smile di atas dada yang super-cringe dan tak sesuai dengan raut wajahnya mendekati bengis. Lain hal dengan kawannya yang tak seberapa parah. Hanya gaya rambut yang dicepol terlalu tinggi dan celana tahun 90-an yang tak lagi diproduksi. Caroline pun memutar bola matanya malas dan bergidik. Dari mana zaman mana mereka datang?
"Kakak, Kak Nanda, kan? Aktivis KOI yang ngisi seminar di acara YLI bulan kemarin?"
Lubang hidung Caroline merekah. Alisnya membentuk jembatan seiring dengan dahinya yang berkerut. Ia lekas menatap manusia bersuara manja nan menggoda itu dengan tajam. Setelahnya, ia pun mengepalkan tangan.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?"
Caroline lekas menoleh tak percaya. Jawaban macam apa itu? Mengapa Nanda mau menanggapi dua gadis kecentilan ini? Ia makin bersungut-sungut.
"Boleh minta fotonya, Kak? Saya Eka, dan ini teman saya, Nana. Kami followers Kakak sejak SMA."
Nanda mengangguk. "Bo--"
Caroline buru-buru mendekati wajah Nanda dan mencium pipi lelaki itu samar. Sontak semua mata terbelalak. Milik Nanda dan juga dua gadis yang melihatnya. Bahkan, mulut mereka ikut terbuka lebar. Caroline dengan santai menyeringai, lalu tersenyum hingga mata sipitnya hilang dari peradaban. Sebuah kecupan itu berhasil membekukan waktu. Ajaib.
"Masih mau foto bareng?" tanyanya separuh meremehkan.
Kedua gadis itu lekas menggeleng dan lari terbirit-birit. Caroline tersenyum puas dan duduk di tempatnya kembali. Misi berhasil, batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Roman pour Adolescents[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...