Jalanan Malang hari ini masih basah akan sisa-sisa hujan tadi malam. Bahkan sampai detik ini, langit masih muram dan menjatuhkan air matanya. Lelaki yang turun dari punggung sang kakak berjalan terseok-seok. Lemas, ngilu, dan takut menyelimutinya bersamaan. Banyaknya orang berlalu lalang dengan wajah tertunduk, membuat hatinya jauh lebih perih dari segala macam penderitaan yang pernah singgah.
Nanda menelan ludah saat beberapa pasang mata dari mereka tak berhenti menatap. Ia enggan memandang wajah sembap mereka. Pakaian serbahitam lengkap dengan tudung tersebut membuat hatinya berdesir.
"Walaupun nanti udah pisah kota, jangan lupa jengukin aku di sini, ya."
Mata Nanda menatap lurus ke depan. Rumah itu ... semuanya masih sama. Ia sesekali berhenti berkat memori yang kembali tayang di dalam ingatan. Wajahnya, suaranya, tingkah lakunya, semua terputar satu per satu.
"Di Jakarta nanti, jangan lupa cari cewek, Nda. Prinsip mengejar harus totalitas."
Tepat di bawah pohon rindang, sahabatnya itu mengucapkan segelintir nasihat padanya. Kemenangan atas sosok wanita yang sempat Nanda kagumi membuatnya berbangga diri. Binar mata itu membuatnya tersenyum, menemani air mata yang telah menetes.
"Pulang, Nda. Pulang, Fer. Bari butuh kalian."
Tiba-tiba dingin menyerang kulit Nanda. Ia jatuh terduduk saat kaki rapuhnya itu mendekati ambang pintu. Tubuhnya bergetar hebat kala melihat sahabatnya berbaring di dalam peti.
"Nda!" Dian segera mendekat memeluk adiknya dari belakang. "Sstt, tenang, Nda. Sabar," ucapnya lembut, tepat di samping telinga adiknya.
Lelaki itu tak dapat membendung ribuan air mata yang tersimpan. Telinganya seakan tuli, tak bisa mendengar dengan jernih. Tenang, sabar, atau apa pun itu tak kuasa masuk ke otaknya. Matanya kian memburam, dipenuhi dengan air yang tak berhenti terjatuh.
Sahabatnya telah menyambut tepat di hadapannya. Sungguh dekat dan sangat dekat.
Haruskah sekarang? Benarkah hari ini? Bukankah ini terlalu tiba-tiba?
"Nanda?"
Seorang gadis berambut pendek dan mata sembap pun mendekat. Ia mengambil alih Nanda dari pelukan sang kakak. Gadis tersebut ikut menumpahkan air matanya di sana.
Erat sekali, ia memeluk Nanda. Seakan-akan jika melepasnya, ia akan kehilangan untuk kali kedua. Rambutnya sudah acak-acakan, lingkaran di bawah matanya turut menjelaskan bahwa ia telah terjaga semalaman.
Nanda ingin membalas pelukan tersebut, tetapi tangannya kaku, kakinya pun linu. Semua badannya berdemo meminta diistirahatkan. Namun, tidak untuk hari ini.
Ia memilih untuk mendekat. Mendekat pada sang kawan. Kawan yang telah memanggilnya untuk menjenguk. Kawan yang memintanya untuk memeluk. Walau semuanya, telah terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Ficção Adolescente[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...