Bubur ayam yang tak berdosa harus menjadi pelampiasan kebingungan Bena. Gadis itu terus mengaduk dan menghancurkan tatanan super-estetik yang diracik mamang gerobak, sebab tidak tahan dengan raut wajah Caroline, sahabatnya. Ia lantas menggeleng dan mendengkus saat muka masam yang menekuk itu makin menjadi-jadi. Rambut acak-acakan plus baju kusut layaknya tak tersentuh setrika panas membuatnya mengerutkan kening. Embusan napas panjang pun lolos begitu saja dari mulutnya.
"Lo kenapa lagi, Lin?"
Sang empunya nama itu menggebrak meja dan menatap sinis. "Nggak usah nanya!"
"Elah, si Bambang malah nyolot. Begadang lagi? Bukannya tugas udah kelar? Kenapa? Nonton?"
Caroline lekas mengangguk. Matanya masih panas dan meraung-raung meminta ditidurkan. Kalau saja bunyi alarm tidak datang dari ponselnya, ia sudah membanting benda itu karena seenaknya mengusik lelap yang baru beberapa jam dinikmati. Tubuhnya lelah akibat seharian berbaring di depan laptop.
"Siapa lagi mangsa lo? Sakit apa? Kanker? Jantung? Tumor? Gagal ginjal? Asma?" absen Bena satu per satu. "Mati, nggak?"
Caroline mendengkus. Kepalanya menggeleng lemah dan matanya mulai berkaca-kaca. Kedua pertanyaan itu cukup memanggil rasa kecewa yang sudah berhasil ia lupakan barang sejenak.
"Gue nunggu setahun lebih. Harusnya film ini tayang tahun lalu, tapi ditunda sampai tahun ini. Giliran tayang, nggak memuaskan! Huhu! Sia-sia penantian gue!"
Caroline berteriak dan menenggelamkan wajahnya pada tote bag yang bertuliskan 'glory-glory communication'. Sungguh, Bena ingin tertawa sekencang-kencangnya. Namun, ia berusaha menahan sekuat tenaga karena temperamen gadis mungil di depannya itu selalu di atas rata-rata kalau sudah seperti ini.
"Masak kesiksanya cuma gemetar doang. Mana cuma sepuluh detik lagi. Apa-apaan! Padahal, Abang Jae udah ganteng banget. Mukanya juga siksa-able. Ampun banget, lah, script-nya. Mending gue yang bikin." Caroline tidak berhenti mengumpat. Aksi begadangnya tak lain dan tak bukan hanya untuk menonton film.
"Dasar psikopat! Kayak nggak ada tontonan lain aja. Heran gue," ujar Bena.
Caroline mengerucutkan bibir saat sebutan itu kembali terucap. Entah sudah berapa kali ia mendapat olokan tersebut dari orang lain.
"Ih! Lo, tuh, nggak tau sensasinya, Na. Lihat cowok kesiksa gini, tuh, asyik. Kayak ada kupu-kupu beterbangan gitu di perut. Rame, lah, pokoknya."
Bena terlampau bosan untuk menanggapi Caroline. Ia sudah terbiasa mendengar alasan tentang keanehan seleranya itu. Ia hanya memutar bola mata malasnya dan mengangkat bahu sebagai respons. 'Amit-amit, semoga tidak tertular' terus bermunculan dalam lantunan doanya.
Caroline bukan gadis yang aneh. Wajah Asia-nya tidak membosankan, meski tingginya sungguh minimalis. Proporsi tubuhnya mungil dengan kulit lumayan putih--cenderung kuning. Rambut panjangnya halus dan lurus. Mata sipitnya pun menarik. Walau masih berstatus mahasiswa baru, banyak senior di kepanitiaan OSPEK yang mulai mendekatinya. Semua terlihat normal, selain seleranya dalam memilih tontonan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Novela Juvenil[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...