Nanda berjongkok di atas tanah. Kepalanya dilindungi sebuah payung yang dipegang oleh sahabatnya, Feri. Masker dan kacamata juga lengkap menutupi wajah.
Ia mengusap sebuah papan bertuliskan nama 'Albari Syafii'. Lesung pipinya mulai muncul guna menghalau air mata yang hendak menetes. Sendu, lelaki itu menatap tempat peristirahatan terakhir yang masih basah dan dipenuhi bunga. Apa yang ada di hadapannya cukup membuktikan bahwa mimpi buruk tak selamanya mimpi dan kenyataan indah tak selamanya nyata.
"Gimana di sana, Bar?"
Tangan Feri sontak bergetar saat Nanda mengucapkan kalimat tersebut. Hatinya seperti tergores luka yang tak tampak dan tak ada pula obatnya. Ia ingin berlari menjauh, tetapi ada Nanda yang masih terdiam di depannya.
Tidak ada hal lain yang kawannya itu lakukan. Nanda hanya mengusap papan di hadapannya secara terus-menerus. Pandangannya tak terlepas dari nama Bari dan pikirannya entah terisi apa.
"Goblok, ya? Ngapain juga aku ngomong sendiri sama papan," ucapnya diselingi tawa.
"Nda …."
Sang empunya nama itu lekas mendongak dan menurunkan maskernya. Ia tersenyum ke arah Feri seakan-akan tengah baik-baik saja. Nanda kembali menatap nisan Bari dan menyiapkan diri untuk pamit--salah satu tujuan awal mengapa ia datang kemari.
"Bar, aku berangkat ke Jakarta lagi, ya," ucapnya pelan. "Bulan depan, aku ke sini lagi … kalau belum nyusul."
"Nda!"
Suara Feri meninggi. Ia paling tidak suka jika sahabatnya itu mulai mengungkit kematian. Sebagai satu-satunya manusia sehat di dalam pertemanan ini, ia merasa dihantui akan kehilangan. Setelah hemofilia berhasil merenggut Bari, ia tak mau lupus turut serta mengikuti jejak tersebut. Feri tidak akan pernah siap. Kapan pun itu.
Nanda lekas berdiri dan menepuk pundak sahabatnya. "Becanda, Fer."
"Nggak lucu, tau."
"Maaf."
Feri menurunkan payung yang sejak tadi ia pegang. Ia meletakkan benda itu begitu saja dan lekas memeluk Nanda. Ia mendekapnya seerat mungkin, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir merasakan hawa hangat dari tubuhnya.
"Jaga diri baik-baik di sana."
"Iya."
"Kalau ada apa-apa, cepet bilang."
"Iya."
"Aku bakal langsung otw dari Jogja."
"Iya."
Feri melepas pelukan itu dan menatap Nanda serius. "Please, jangan iya-iya aja dan yakinin aku kalau kamu bakal beneran baik-baik saja, Nda."
"Gimana caranya? Gimana caranya, Fer?"
Feri terdiam. Ia seketika kehabisan kata-kata. Lidahnya kelu dan otaknya mengirim sinyal pada hati bahwa ia telah salah meminta.
"Nda--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Crush ✔ [Terbit]
Teen Fiction[DIBUKUKAN] [PART TIDAK LENGKAP] Judul sebelumnya: Adolosense, Slow Motion "Dasar psikopat!" Caroline sudah terbiasa dengan umpatan itu, padahal ia yakin 99% bahwa ia hanya gadis biasa yang kebetulan mempunyai hobi yang tergolong unik, yakni menont...