6. Semakin Parah.

153 30 0
                                    

Langit pulang ke rumahnya dengan keadaan basah total. Berhubung rumahnya memang hanya berjarak dekat dengan halte— satu kali naik bus, kurang lebih 500 meter berjalan kaki. Ibunya langsung menyuruh Langit mengganti baju sebelum makan— Ibunya selalu tahu kalau Langit belum makan. Semenjak Langit terkena penyakit leukimia, ia bukan seperti Langit yang biasanya. Langit yang belum terkena leukimia itu suka sekali makan, tetapi sekarang malah jarang makan.

Ibu Langit sedih sekali anaknya berubah drastis seperti ini. Tetapi ia juga tidak mau memaksa anaknya itu makan. Percuma saja kalau anaknya itu makan dengan paksaan— ia pasti hanya makan tiga sendok. Langit selalu mendapatkan support dari Ayah dan Ibunya.

Langit turun ke bawah saat selesai mengganti baju. Ia tidak mengambil banyak nasi, ia benar-benar tidak nafsu makan. Ibunya duduk di seberang Langit, menatap Langit yang hanya makan sedikit. Tidak apa, yang penting Langit makan, pikirnya.

"Oh iya, Langit. Lusa kamu bisa melakukan transplantasi," kata Ibunya dengan senyum manis. Langit ikut tersenyum di tengah kunyahannya, mengangguk menjawab ucapan Ibunya.

"Ibu harap kamu sembuh, Langit..." sayangnya, Ibunya tidak sanggup bicara seperti itu. Ibunya hanya bicara di dalam hati.

"Langit, kok akhir-akhir ini wajah kamu pucat, sih?" tanya Arin— sahabat kecil Langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Langit, kok akhir-akhir ini wajah kamu pucat, sih?" tanya Arin— sahabat kecil Langit. Langit hanya tertawa mendengar pertanyaan sahabatnya. Mau menjawab apa dia? Bicara kalau ia memiliki penyakit serius?

(note dari saya, arin adalah kim jisoo).

"Ish, Langit! Jawab pertanyaanku, dong! Dasar tuman!" Langit lagi-lagi hanya tertawa. Arin ingin sekali memukul kepala sahabatnya itu dengan novel 600 halaman miliknya, tetapi kasihan juga melihat wajah pucat Langit.

"Maaf ya, Arin. Kapan-kapan saya ceritakan, deh!" Arin menghela napasnya, kemudian mengangguk. "Tapi kudengar dari bibi, kamu sedang berjuang. Berjuang kenapa, Langit? Siapa tau aku bisa bantu?" Langit menggeleng dengan senyumnya. Dibantu dengan dokter saja belum tentu bisa, apalagi dengan Arin?

"Ingat satu hal ya, Rin?" Arin menatap Langit bingung. Mengingat tentang apa maksud dia?

"Kalau saya memang nggak ada lagi di dunia ini, ingat saya selalu sayang kamu." []

HAPPY ENDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang