Hari ini adalah hari di mana orang tua Gabrian sidang untuk perceraian mereka. Awalnya ia tidak mau datang. Tapi karena Rana memaksanya datang dan mau menemaninya di sana, akhirnya Gabrian hadir di persidangan kedua orang tuanya.
Gabrian merasa sesak melihat kedua orang tuanya resmi bercerai. Tapi Rana menenangkannya dengan elusan lembut di tangan Gabrian. Itu pilihan terbaik untuk mereka. Dan berpisah bisa buat mereka jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Yang penting orang tua kamu masih lengkap. Begitu kata Rana kepada Gabrian.
Setelah sidang selesai, Rana dan Gabrian menemui orang tua Gabrian terlebih dahulu. Mereka memeluk Gabrian sayang. Mereka juga memeluk Rana dan menyuruh Rana untuk menjaga Gabrian. Bukannya seharusnya lelaki yang menjaga perempuan? Ah entahlah.
Mereka kembali ke tempat masing-masing. Ayah Gabrian pergi ke kantor mengurus urusan yang belum selesai, sedangkan Ibu Gabrian pulang ke rumah yang lama karena Ayah Gabrian sudah memberikan rumah itu.
Gabrian sudah pindah dari rumah itu. Ia dibelikan Apartemen untuk tempat tinggalnya. Rana membantu Gabrian membereskan barang-barang yang mereka bawa ke sana.
Setelah selesai, mereka memesan makan terlebih dahulu. Mereka makan sambil nonton film bersama. Tidak ada yang membuka percakapan. Rana berpikir bahwa Gabrian masih dalam keadaan mood yang tidak baik saat ini.
Gabrian mengantar Rana pulang. Gabrian pun baru mengajak Rana berbicara saat mereka sudah ada di depan rumah Rana.
"Makasih yah, Gabrian. Mau mampir dulu?" Ucap Rana.
Gabrian mengangguk. "Aku langsung pulang aja." Jawabnya.
"Kalo gitu aku masuk dulu." Ucap Rana sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya. Tiba-tiba tangan Gabrian menghentikan pergerakan Rana.
"Maaf kalo tadi di Apartemen aku cuekin kamu. Mood aku bener-bener ga baik. Aku ga mau kamu kena marah karena aku emosi." Ucap Gabrian menyesal.
"Gapapa kok. Aku ngerti." Jawab Rana tersenyum hangat.
"Makasih udah mau ngertiin aku, Na. Aku sayang kamu." Ucap Gabrian mengelus kepala Rana lembut. Tidak mengacaknya seperti kemarin-kemarin.
Setelah mengatakan itu Gabrian menyuruh Rana untuk masuk ke rumahnya. Ia senang bisa membantu Gabrian dan mendapat perlakuan manis dari Gabrian.
Gabrian pergi dari halaman rumah Rana. Ia juga senang karena bisa mendapatkan gadis baik hati seperti Rana. Rana yang mampu mengerti dirinya. Serta tidak meninggalkannya ketika ia terpuruk seperti sekarang.
Gabrian memutuskan untuk nongkrong bersama Iqbal di sebuah café dekat tempat tinggal mereka. Karena kebetulan rumah Iqbal juga lumayan dekat dengan Apartemen milik Gabrian.
Iqbal tidak punya kerjaan selain bermain game dan men-stalking perempuan yang ia sukai sejak pertama kali ia melihat perempuan itu di kantin. Sehingga ia meng-iya-kan ajakan Gabrian yang mengajaknya keluar.
"Gimana sidang orang tua lo, An?" Tanya Iqbal memecah keheningan.
"Lancar-lancar aja sesuai kemauan mereka." Jawab Gabrian lesu. Iqbal mengangguk.
"Lo yakin mau tinggal sendiri aja di Apart? Gamau tinggal sama gua aja?" Tanya Iqbal lagi.
"Yakin, kok. Gua gamau nyusahin orang lain." Jawab Gabrian seraya tersenyum.
"Kayak baru aja kenal gua setahun-dua tahun. Kita sahabatan dari SD loh, An. Gua ga ngerasa terbebani sama elu." Ucap Iqbal masih meyakinkan Gabrian.
"Gapapa kok, Bal. udah dibeli juga sama bokap gua. Ga mungkin gua telantarin Apart itu. Kasian duitnya." Jawab Gabrian sambil terkekeh.
"Yaudah terserah lu. Kalo lo butuh lo bisa hubungin gua atau langsung dateng aja ke rumah gua." Ucap Iqbal. Gabrian hanya menganggukkan kepalanya.
Mereka mulai mengobrolkan hal-hal yang tidak penting sampai hal yang penting. Sampai Iqbal mengajukan suatu pertanyaan yang tidak pernah Gabrian kira akan dilontarkan oleh si Iqbal manusia dingin nan cuek ini.
"An. Gua mau nanya." Ucap Iqbal memberanikan diri.
"Langsung nanya aja kali, tumbenan lu ijin" Jawab Gabriel bercanda.
"Menurut lu, Fira temennya Rana, baik ga?" Tanya Iqbal.
"Lu yakin nanya gitu ke gua Bal? Ini beneran elu kan? Lu ga kerasukan, kan?" Gabrian bertanya tanpa menjawab pertanyaan Iqbal.
"Jawab aja sih, susah amat perasaan." Ucap Iqbal menggerutu.
"Iyadeh, iyaa. Fira baik kok, cantik pula. Tapi lebih cantikan Rana dong. Dia juga pinter" Jawab Gabrian menahan tawanya.
"Kalo gua deketin dia, kira-kira dia mau gak, ya?" Ucap Iqbal.
"Deketin aja. Lu kan ganteng Bal. pinter juga. Ga mungkin dia gamau. Chat aja kali. Takut amat lu pdkt sama cewek." Ucap Gabriel sambil tertawa.
"Siapa juga yang takut, Yaudah gua chat. Tapi jangan Tanya Rana dulu. Malu gue. Ntar dikiranya gua mau php-in temennya" Ucap Iqbal memperingati.
"Gua sih ga bakalan tanya ini ke Rana. Tapi apa lu yakin Fira ga bakalan cerita ke sahabat-sahabatnya?" Tanya Gabrian.
"Iya juga, yah" Ucap Iqbal sembari mengetuk-ngetuk meja di depannya. "Gapapa deh, yang penting Fira seneng" Lanjut Iqbal senyum-senyum sendiri.
"Dasar bucin, lo!" Ucap Gabrian. Iqbal hanya memeletkan lidahnya menanggapi ucapan Gabrian. Gabrian yang diperlakukan seperti itu oleh Iqbal hanya geleng-geleng kepala. Karena baru kali ini Iqbal berniat mendekati seorang perempuan.
Percakapan mereka hanya sampai di sana. Karena sudah mulai larut, mereka harus pulang untuk beristirahat karena besok hari sekolah.
Saat Gabrian sampai di rumah, ia melihat Ayahnya tengah terlelap di sofa ruang tengah. Ayahnya kelihatan capek. Mungkin Ayahnya baru saja pulang dari kantor. Ia membangunkan Ayahnya untuk pindah ke kamar.
"Sudah pulang, nak? Dari mana kamu?" Tanya Ayah Gabrian dengan suara khas bangun tidur seraya duduk di sofa tempat ia terlelap tadi.
"Habis keluar sama Iqbal. Papa pindah ke kamar aja. Ga usah pulang dulu. Ini udah malem banget" Ucap Gabrian. Ayahnya hanya mengangguk.
"Papa kesini juga mau cerita sama kamu" Ucap Ayah Gabrian serius.
"Keputusan Papa sama Mama untuk pisah itu bukan hanya karena pilihan kita berdua, atau mungkin karena Papa atau Mama selingkuh. Ini semua karena ego kita masing-masing. Mama kamu yang terlalu mengatur hidup Papa, sampai kalo ada klien perempuan, Papa selalu membatalkan kontrak. Sekretaris Papa juga waktu itu Papa pecat karena waktu kita masih muda, Papa suka sama dia. Papa yang merasa risih atas sikap Mama kamu ke Papa dan Papa yang ga suka usaha restoran Mama kamu yang managernya itu kebetulan mantan Mama kamu mulai berpikir untuk berpisah. Sejak saat itu kita selalu bertengkar. Kita saling mengungkit masa lalu setiap kita bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau minta maaf duluan. Sampai akhirnya Papa pergi dari rumah dan ngajuin surat cerai itu karena Papa ga tahan sama sikap Mama kamu." Ucap Ayah Gabrian meneteskan air matanya setelah selesai menjeaskan alasan mereka berpisah. Gabrian yang melihat Ayahnya menangis juga ikut meneteskan air mata.
Hatinya juga ikut sakit, seperti tersayat mendengarkan alasan kedua orang tuanya berpisah.
"Papa ngomongin ini ke kamu karena Papa takut kamu salah paham sama Papa atau Mama. Papa takut kamu ngira di antara kita ada yang selingkuh. Itu Ngga bener, nak. Nggak ada yang selingkuh. Ini memang murni keputusan kita berdua. Papa harap kamu bisa ngertiin keputusan Papa sama Mama" Ucap Ayah Gabrian sambil menepuk bahu Gabrian.
Gabrian menatap Ayahnya dalam. Melihat raut wajah lesu dengan kerutan wajah yang mulai mengisi raut wajah Ayahnya. Gabrian tidak berniat untuk memaksa mereak bertahan, Karena Gabrian tau, perpisahan bukan akhir dari segalanya. Orang tuanya boleh saja berpisah, tapi tidak dengan hubungan darah dan kasih sayang yang mereka miliki. Gabrian mengerti sekarang bahwa setiap hal yang dilakukan selalu ada sebabnya.
Semua Awal pasti ada akhir, semua Jalan pasti ada ujung.
Begitu pula dengan Sebab, Pasti ada alasannya.
#ByunIra
#SebuahPesanUntukHujan
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Pesan Untuk Hujan [END]
Short StorySebuah Kisah yang entah bisa membuat pembaca tersentuh atau tidak. Orang-orang mungkin berfikiran bahwa Hujan hanyalah sebuah kejadian alam yang biasa terjadi, Tapi tidak dengan Rana. Seorang gadis yang berfikiran terbalik dengan orang-orang itu...