Prolog

281 26 0
                                    

Bulan telah menampakkan dirinya. Seorang gadis terlihat duduk di bangku taman. Udara dingin tidak sebanding dengan aura dingin yang ia pancarkan.

Dipangkuannya ada sebuah catatan kecil yang tebal dan sedikit lusuh serta sebuah pulpen. Tangannya yang lentik bergerak menulis kata di buku tersebut.

Tatapannya menerawang jauh ke depan. Tatapan yang menyiratkan kesedihan, kehampaan, dan luka yang amat mendalam. Gurat wajahnya tampak lelah. Menandakan bahwa gadis itu terlihat memiliki banyak pikiran dan masalah yang tak bisa ia suarakan.

Hanya keheningan dan kesunyian yang menyelimuti raganya. Ia menghirup dalam-dalam aroma malam yang tidak berubah. Masih sama dengan malam-malam kemarin dengan angin kencang yang menyapu permukaan kulitnya.

Ia kembali menulis dibuku catatannya. Menumpahkan segala kesedihan dan beban yang menghantuinya. Matanya Berkaca-kaca, semua ia curahkan dalam buku tersebut. Air matanya pun mulai menetes jatuh mengenai buku catatannya. Tidak berniat menyekanya, ia melanjutkan menulis.  Melampiaskan dan mencurahkan apa yang ia rasakan dalam bentuk kalimat. Mengapa? Sebab tidak ada yang benar-benar ingin mendengarkannya.

Gadis itu yakin bahwa orang-orang yang menawarkan diri untuk menjadi teman berbagi cerita. Hanya sebatas penasaran. Bukan untuk memberi solusi atau bahkan ingin mengerti perasaannya. Itulah sebabnya gadis itu memilih bercerita dalam buku catatannya.

Tiba-tiba rintik hujan jatuh menerpa tubuh gadis itu. Gadis itu tersenyum miris. Sebab cuaca malam ini juga mendukung suasana hatinya. Gelap dan sesak,  itulah yang dirasakan gadis itu sekarang.

Hujan turun semakin deras. Awan-awan hitam berkumpul dan membuat langit seketika menjadi kelabu. Bulir-bulir air hujan dengan cepat turun membasahi taman. Malam itu hujan seakan-akan ikut menangis melihat kepahitan perjalanan hidupnnya.

Ia pun berlari menuju rumahnya sambil mendekap buku catatan kecilnya. Gadis itu memilih untuk mandi karena merasa tubuhnya sedikit hangat akibat kehujanan. Ia mengambil buku catatan kecil serta pulpennya tadi. Lalu menyelesaikan kalimat terakhir yang akan ia tulis sebagai penutup cerita hari ini.

Selamat malam hujan,
Butiran-butiranmu sudah menyapa tubuhku.
Terima kasih sudah menemaniku malam ini
Jangan lupa datang lagi malam-malam berikutnya.
Aku akan selalu menunggu mu

Rana

Rana kemudian menutup bukunya, lalu menyimpannya di laci nakas samping tempat tidur. Kemudian ia membaringkan tubuhnya dan membalut tubuhnya dengan selimut pink tebal kesayangannya. Sudah cukup penderitaannya hari ini. Tubuh dan pikirannya butuh istirahat.

Bulu mata lentiknya kini tertutup. Dengan dinginnya malam ia tertidur pulas dan berharap saat bangun semuanya akan jadi lebih baik dari hari ini.

Atau mungkin besok akan jadi hari yang menyeramkan seperti hari-hari sebelumnya. Entahlah tuhan yang tahu. 

Sungguh, hanya hujan yang kunanti. Sebab hanya ia yang mampu menyamarkan tetesan air mataku di kesedihan ini.

#ByunIra

#SebuahPesanUntukHujan

Sebuah Pesan Untuk Hujan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang