12

1.1K 70 42
                                    

" Des. " ujar mas Juna yang tiba - tiba datang seraya langsung merebahkan dirinya dan menumpukan kepalanya di paha ku saat aku sedang fokus menonton film di televisi. Ini sudah kesekian kalinya dirinya tiba di rumah sehabis magrib. Dan kesekian kalinya pula dirinya tak bisa menjemput ku dari Boscha karena lembur di kantor.

" Ya? Kenapa mas? " tanya ku seraya memainkan rambut tebal dan hitam miliknya yang mulai memanjang. Seperti rambut dirinya saat jaman kami karantina OSN dulu.

" Tumben deh mas Juna manja kayak gini. " ujar ku dalam hati sembari melirik ke arah dirinya yang saat ini sedang menatap ku dengan kepalanya yang sudah berebah di atas paha ku yang hanya berbalut dengan celana pendek di atas lutut dan kaos t-shirt kebesaran ku.

" Mas tumben banget pulang ngantor langsung kayak gini. Manja amat. Biasanya juga, aku yang manja - manjaan sama mas. Mas kenapa sih? Aneh deh. " ujar ku akhirnya tak tahan untuk menanyakan dirinya yang seperti ini terhadap diri ku.

Dirinya saat ini bahkan masih memakai setelan kantornya dan meninggalkan tas kantor miliknya di sembarang tempat di ruang tamu. Bahkan kaos kaki hitamnya masih bertengger di ke dua kakinya. Benar - benar tak seperti mas Juna yang biasanya. Karena biasanya dirinya yang sangat telaten membereskan barang - barang miliknya sehabis pulang kantor.

Dan entah kenapa, aku selalu merasa jika mas Juna akan berpuluh - puluh kali lebih tampan jika dirinya sedang memakai setelan kantornya seperti ini. Dan aku selalu menyukainya. Mas Juna terlihat sangat dewasa di mata ku memakai pakaian kantornya ini.

" Perut mu gimana? Masih sakit? Atau udah mendingan? " tanyanya tak menjawab pertanyaan dari ku barusan dan justru memasukkan tangannya ke dalam baju kaos kebesaran yang ku pakai saat ini, sembari mengelus perut ku yang rata tanpa terhalang apa pun. Dirinya sedikit melirik ke arah perut ku.

"Gak perlu ke rumah sakit, Des? Mas bisa nganter kok sekarang. " tanya mas Juna lagi dengan pelan. Dirinya benar - benar terlihat sangat khawatir dengan keadaan ku.

" Desyca gak papa kok mas. Jadi mas Juna jangan khawatir. Ya? " sahut ku seraya tangan ku mulai menelusuri hidung mancungnya dan juga tak lupa mengusap bibir tebalnya yang begitu ku sukai.

Aku mencoba untuk baik - baik saat ini dan mengikutinya pengobatan dengan serius, karena aku ingin sembuh dan menyenangkan mas Juna. Aku juga tak ingin membuat dirinya terus - menerus kepikiran dan khawatir dengan kondisi ku saat ini.

Aku pun mencoba untuk tak terlalu memikirkan sakit ku dan menjalani kehidupan pernikahan kami sebaik mungkin. Beruntungnya aku, mas Juna terus saja mendorong dan mensuport ku habis - habisan sehingga membuat ku terkadang lupa bahwa aku masih belum sempurna sebagai seorang istri bagi dirinya.

" Syukur lah. Kalo ada apa - apa, bilang sama mas! Jangan di pendem sendiri! Mas gak suka liat kamu sakit. " ujarnya sembari menutup ke dua matanya dan menikmati sentuhan - sentuhan jemari ku di wajah tampannya. Entah kenapa, sejak dulu dirinya tak pernah melarang atau menegur ku jika aku menyentuh area tubuhnya. Di bagian mana pun itu.

Padahal, jika dengan orang lain khususnya perempuan, dirinya tak akan pernah mau untuk di dekati dan di sentuh sembarangan. Apalagi sejak kami berdua menikah, dirinya semakin sering melakukan skinship dengan ku dan tak pernah melarang ku untuk melakukannya.

Mas Juna lalu menarik tangan ku yang sedang menelusuri wajah dirinya dengan lembut dan menggenggamnya dengan erat seakan - akan dirinya tak ingin melepaskannya.

" Mas, kalo ngantuk mending tidur di kamar gih. Capek gitu mas mukanya. Sekalian aku mau nyiapin makan malam, buat kita berdua. Ya? " ujar ku begitu melihat dirinya yang sangat tampak tenang berebah di pangkuan ku. Tetap dengan tangan ku yang terus bermain - main di wajah dan badannya.

304 TH STUDY ROOM 02 (FAN FICT) (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang