UNDANGAN MANTAN

523 52 11
                                    

"Karena aku tau kamu orang yang baik, Ter, aku yakin kamu akan datang ke pernikahan Linda. Kalau kamu ingin balas dendam, bawa saja pacarmu supaya dia cemburu," ujar Susan sebelum aku menutup sambungan telepon.

Sudah seminggu ini kupingku gatal, rupanya banyak orang mengatakan aku baik. Tidak di depan, tidak di belakangku. Tentunya aku tau, aku orang baik, tapi baik itu ada batasnya. Apakah mereka tidak pernah belajar?

Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah kebaikanku dan apa yang sudah kulakukan, karena baik dan bodoh itu terpisah oleh garis setipis rambut, sama seperti halnya perbedaan antara cinta dan benci. Lagi-lagi ini kata orang, aku tidak peduli.

Yang sampai sekarang masih belum dapat kuterima adalah orang baik ternyata tidak bernasib baik. Sayangnya pengetahuan itu datang terlambat. Aku baru mengetahuinya ketika Linda berselingkuh dengan teman baikku sendiri.

Ralat, teman—ya, baik—tidak!

Kalau dia baik, maka tidak mungkin seorang teman rela merusak hubunganku dengan Linda yang sudah berjalan tiga tahun, bukan? Kami bahkan sudah merencanakan pernikahan.

Tapi Tuhan baik, Dia membuka mataku akan isi hati Linda sebelum semuanya terlambat. Ketika kami putus, Linda mengatakan dia tidak mencintaiku dan hanya menganggapku sahabat. Oh ya, tentu, kami memang bersahabat dulu, bersama tiga orang lainnya. Namun saat dia mengatakan itu, duniaku meledak seakan ditembak kapal penghancur Palpatine di film Star Wars yang baru.

Kutarik napas berat dan menghembuskannya perlahan, sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu dan kupikir aku sudah menguburnya cukup dalam, ternyata aku salah. Aku seperti anjing yang menggali lagi lubang tempatku menguburkan tulang, ketika sepucuk undangan dari Linda tiba di atas meja kerjaku dua minggu lalu.

Jika ada yang bilang aku menyedihkan, silakan saja. Aku tidak akan menyangkalnya, karena sejak kejadian itu aku belum berminat mencari kekasih pengganti.

Aku sedang mengacak rambutku karena frustrasi ketika telepon genggam itu berbunyi. Sebentuk suara yang kukenal segera menyembur dengan ganas dari lubang speaker. "Terrence Halim, katakan padaku bahwa kau akan pulang akhir tahun ini atau aku akan menyurati Kapolda, Kapolres, sampai Satpol PP untuk melarangmu pulang ke Kota Malang lagi—selamanya!

"Aku akan menempatkan fotomu—dengan tanda silang merah di wajah—pada dinding bandara dan stasiun, agar selamanya kau tidak bisa menginjakkan kakimu lagi di kampung halaman!" Napas gadis itu sedikit terengah sebelum dia menambahkan, "Aku benar-benar serius!"

Aku tidak tau harus merespon apa, kecuali tertawa, tawa yang keras, hingga mataku berair. Kurasa ini langkah terakhir para sahabatku. Mereka mengirimkan orang suci untuk memastikan aku akan jatuh dalam dosa dan masuk ke neraka paling dalam, jika tetap menolak datang.

"Terry, kau mendengarku? Berhenti tertawa. Aku serius!" hardiknya, yang mana membuat tawaku tambah keras.

Valerie Lukman seharusnya tidak lagi mengurusi duniawi. Kalau tidak salah, terkahir kudengar dia bertekad menjadi seorang biarawati. Apakah dia telah berubah pikiran?

"Aku baru saja membanting telepon dari Susan karena permintaan yang sama." Kuembuskan napas berat, kemudian bayangan gadis berkaca mata tebal dan gigi kawat warna warni membuatku tersenyum.

"Jawab aku, kapan terakhir kita reuni? Kau juga tak pernah meneleponku. Oh ayolah, anggap saja ini reuni kita berlima. Berempat deh, karena Linda ada di panggung. Ooops, maaf!" Kalimatnya barusan membuat mimik sebalku muncul dan terpantul samar di kaca jendela kantor yang menampakkan pemandangan Jakarta Utara dari lantai dua puluh dua.

"Dengar, hanya karena Linda memutuskanmu, bukan berarti seluruh duniamu runtuh, Ter. Kau tidak buta, cari saja gadis yang lain." Kerutan di mimik sebalku baru saja menjadi lebih dalam.

Oh, bagus! Ini nasehat tepat yang kuperlukan untuk mendorong kakiku naik ke lantai penthouse paling atas, memecahkan jendelanya, dan menghempaskan tubuh jauh ke bawah sana. Mungkin saat itu sahabatku baru akan tau betapa tersiksanya aku selama ini, dan sekarang mereka seakan bersekongkol dengan Linda untuk menyiksaku lagi.

"Sekali lagi kukatakan, aku tidak akan pulang. Aku akan pulang ketika aku ingin pulang!" Suaraku mulai terdengar frustrasi. Kemudian ketika sepatah kata terdengar akan keluar dari bibir Valerie, aku buru-buru menghentikannya, "Titik!"

Kutekan tombol merah di layar, kemudian melemparkan telepon genggam itu ke meja kerja. Baru saja benda persegi itu mendarat di atas peliturnya yang mengilat, suara notifikasi terdengar. Aaargh! Siapa lagi sekarang?

Aku pernah menyelamatkanmu di kolam renang, kau ingat? Waktu itu seseorang mendorongmu jatuh dan kepalamu terantuk ubin sebelum tercebur. Kurasa sekarang saatnya membalas budi. Begitulah isi pesan singkat dari Valerie.

Oh, Tuhan, dia masih saja memaksakan kehendaknya. Valerie itu orang yang lebih baik dari orang baik. Kurasa tidak ada seorang pun yang mengenalnya, yang tidak berhutang jasa. Apalagi aku yang jelas-jelas sahabatnya. Kalau tidak ada dia saat itu, aku pasti mati.

Tapi hei, lihat sisi baiknya. Jika saat itu aku mati, maka aku tidak akan patah hati begini, kan? Aku masih mencoba membela diri sebelum akhirnya menyerah. Sambil mendengkus, jariku menyusuri daftar kontak dalam telepon genggam untuk menemukan namanya, dan segera menekan tombol telepon.

"Baiklah, kau menang. Aku akan pulang. Kapan? Hmmm ... itu akan jadi rahasia. Iya, aku tau, sebelum tanggal pernikahan Linda pastinya. Iya, aku janji. Iya, iya, dan iya. Dasar cerewet!"

Sekali lagi telepon genggamku mendarat di atas meja kerja, di sebelah undangan bersampul emas. Dengan cemberut, kubaca sekali lagi tanggal pernikahan yang tertera, 23 December 2019. Luar biasa! Dari 365 hari penanggalan Masehi, Linda harus memilih tanggal yang sama dengan tanggal jadian kami untuk menikah. 

Dua minggu lagi menuju hari H, ada banyak hal yang harus kuurus sebelum berangkat ke Malang. Semoga atasanku menyetujui cuti yang akan kuajukan besok. 


Seminggu setelah aku berjanji pada Valerie bahwa aku akan pulang, malam itu aku tiba di Bandar Udara Abdulrachman Saleh. Sudah lebih dari dua jam aku menunggu, namun tidak juga aku melihat penampakan ibu. Sedikit rasa curiga menghantuiku, jangan-jangan aku lupa dengan wajah ibu hingga tidak mengenalinya?

Sejak berpacaran dengan Linda, aku tidak pernah pulang ke Kota Malang. Aku baru sadar sekarang bahwa Linda membawa pengaruh buruk padaku. Baru setelah putus darinya, aku sempatkan pulang. Tak seorangpun tau mengenai kepulanganku, kecuali ibu dan kakak perempuanku, dan tentu saja ayah yang sekarang berada di surga. Malang adalah kota kecil, aku tidak ingin hubungan asmaraku yang kandas menjadi gosip karena keluarga Linda adalah salah satu keluarga terpandang di sini.

Ini yang membuat Jaya, Susan, dan Valerie khawatir. Kerap kali mereka menelepon untuk memastikan bahwa aku masih berpegang pada tali kehidupan, dan bukannya menggunakan tali itu untuk menjerat leherku.

"Terrence Halim?" sapa seseorang.

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang