EPILOG

302 37 5
                                    

Gereja Kayu Tangan, 20 Desember 2020

Aku menatap pantulan orang ganteng dalam cermin satu badan yang terpampang di depan. Kemudian rasanya bahuku lunglai ketika ingat pesan Val bahwa dia hanya akan menikah dengan lelaki berdasi emas.

"Kemana dasi itu ya?" gumamku, tanpa berharap dasi itu akan ditemukan. Semoga saja bagian kebersihan gereja sudah membuangnya, jadi aku punya alasan untuk tidak mengenakannya di hari pernikahanku. Kutegakkan tubuh dan tertawa ketika tidak dapat menemukan benda norak itu. "Syukurlah sudah hilang."

Suara pintu bilik yang terbuka membuatku menoleh. Wajah Jaya yang menyembul dari baliknya menyeringai menatapku. "Ter, apa ini dasimu?"

Oh, sh—, tanganku buru-buru naik untuk membungkam mulut yang lancang. Aku harus berhenti mengumpat! "Hmmm ... aku ingin mengatakan bukan, tapi ya, itu dasiku. Kenapa kamu harus merusak kebahagiaanku sih, Jay? Padahal aku sudah senang banget dasi itu hilang."

"Harusnya kamu berterima kasih padaku. Kamu harus ingat, Val bilang dia akan menikah dengan lelaki berdasi emas. Nah, dasi itu kutemukan sedang dipakai pekerja galian di depan gereja. Apa kamu mau Val menikah dengan dia?"

Mulutku ternganga mendengar penjelasan Jaya. "Aku gak akan pernah rela menyerahkan Val ke tangan siapapun. Kemarikan cepat, dan bantu aku memasangnya."

Sebagai bestman-ku, Jaya mendekat dan membantuku mengenakan dasi konyol itu. Aku menatap wajah sahabatku dengan penuh rasa syukur. Meski sering berkata kasar, Jaya adalah orang yang baik hati. Hanya saja, sifatnya yang terus terang membuat orang lain mudah naik pitam jika tidak mengenalnya.

"Jay, aku minta maaf hubunganmu dan Susan tidak berjalan mulus."

"Ah, jangan begitu. Itu sudah kesepakatan kami berdua, Ter. Tidak ada hubungannya denganmu atau Val. Aku mendapat beasiswa ke Swiss yang mana tidak mungkin kulepas, sementara Susan memiliki tanggung jawab atas rumah makan keluarganya dan beberapa cabang lain yang akan di buka tahun depan. Jadi, itu keputusan terbaik. Aku gak bisa melihatnya menungguku yang gak pasti gini. Bagaimana aku bisa menghadap orang tua Susan jika aku sendiri gak yakin bisa kembali cepat."

Aku mengangguk mendengar penjelasan Jaya. "Apa yang kamu lakukan itu sudah benar."

"Tentu saja. Aku sudah memikirkan banyak hal, Ter. Aku bukan kamu."

Sial! Lagi-lagi dia memojokkanku. Mungkin IQ-ku setengah kecerdasan Jaya, paling tidak aku lebih mujur darinya dalam hal kebahagiaan. Jika semua sudah tercukupi, apa sih yang dicari dari hidup ini selain bahagia? Dan meskipun pada setiap acara orang mengucapkan semoga bahagia, pada kenyataannya hanya segelintir orang yang menemukannya.

"Mukamu jangan ditekuk gitu. Apa yang kamu pikirkan?"

"Aku berharap kamu dan Susan bahagia."

"Santai saja, Bro. Akan ada saatnya aku dan dia menemukan kebahagiaan, entah bersama atau masing-masing."

Yeah, dia benar, tapi aku tidak akan mengakui itu di depannya.

"Oh ya, Jay, lain kali kamu gak perlu jauh-jauh mencariku. Tahun depan aku akan pindah ke Malang. Aku sudah membeli rumah di sini dan sebagai associate arsitek, aku juga minta atasanku untuk memindahkan studio kerjaku kemari."

"Ah, bagus untukmu. Semoga bahagia, Ter."

Suara organ yang berkumandang dari aula gereja mengalihkan perhatian kami. Sebentar lagi acara prosesi hari pernikahan Val dan aku akan segera dimulai, jemariku tiba-tiba dingin dan lututku gemetar.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya—ya, tentu. Perutku rasanya mulas."

"Tahanlah untuk beberapa jam, Ter. Kalau kamu pingsan, aku tidak keberatan untuk menggantikanmu di altar."

"Dasar teman brengsek!"

Jaya tertawa keras dan merangkulku. Berdua kami berjalan keluar bilik, untuk menjemput malaikatku yang cantik dalam gaun pengantin ala Tinkerbell.

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang