INI BUKAN KENCAN!

181 36 10
                                    

Kami berkendara dalam diam selama 40 menit yang panjang. Aku tidak merencanakannya, tau-tau kami sudah di depan bangunan yang ramai dengan antrian orang di loket masuknya.

"Ngapain kita ke Museum Angkut, Ter?"

"Jujur aku juga gak tau. Aku hanya mengikuti marka jalan dan tiba-tiba sampai di sini. Kau tidak suka? Kalau kau tidak suka--."

"Bukan gitu. Tiket masuknya cukup mahal," potong Val menjelaskan.

"Aku traktir. Anggap saja ini kencan." Itu kalimat paling bodoh yang dikatakan seseorang pada sahabatnya, tapi mengapa rasanya tepat?

Aku tersenyum miring melihat Val dengan antusias mengamati ragam bentuk transportasi yang pernah ada di Indonesia. Beberapa kali dia memintaku untuk mengambil gambarnya, tapi lebih banyak aku yang memaksanya agar mau difoto. Karena dia tidak mau difoto sendirian, terpaksa kami wefie di beberapa kesempatan.

Rasanya ada percikan listrik yang mengejutkan ketika tanganku tak sengaja bersentuhan dengannya. Dan sepertinya itu tidak hanya terjadi padaku, tapi Valerie juga merasakannya. Terbukti kami saling menatap ketika itu terjadi. Aku tidak memungkiri bahwa ini memang aneh, mungkin hujan lebat di luar yang membuat suasana menjadi canggung. Pada akhirnya, aku tidak tahan lagi, kuberanikan untuk menggenggam tangannya. Toh aku dan Val adalah sahabat lama bukan?

Meski terkejut, namun begitu tangannya ada dalam genggaman dan mata indahnya menatapku, perasaan lain timbul. Mungkinkah jantung manusia dapat tumbuh sayap? Karena rasanya jantungku berubah menjadi kupu-kupu yang terbang berputar-putar dalam cangkang putihnya.

"Ingat, ini kencan. Jangan ceritakan pada calonmu ya, aku tidak ingin mati mengenaskan," ujarku mencoba melucu dan berhasil. Val tertawa. Rasa senang yang aneh ini membuatku menggertakkan gigi karena hingga aku mengantarnya pulang sore itu, seringai di bibirku tak kunjung lenyap.

Ya, ini pasti karena cuaca yang buruk.

Di rumah, aku baru sadar akan ketololanku. Begitu banyak yang kami bicarakan, tapi aku lupa tujuanku untuk menginterogasinya. Kuputar otak agar bisa menemuinya lagi. Besok mungkin aku bisa ke rumah sakit tempatnya bekerja. Jaya mungkin akan merasa heran, tapi hei, tidak ada apa-apa antara aku dan Val.

Bergelung ke samping di ranjang, jemariku mulai menelusuri galeri foto dalam telepon genggam. Kuperbesar dan kuamati wajah Val yang tersenyum di sampingku ketika kami wefie. Valerie tidak secantik Linda dalam foto, tapi—.

Pintu kamar yang terbanting kasar membuyarkan isi pikiranku dan membuatku terduduk seketika. "Terry, aku mau bicara!"

Oh, sial, apa sih yang diinginkan kakak malam-malam begini. Dia tinggal di sebelah rumah, harusnya urusan darurat yang tidak mendesak bisa ditunda sampai besok. "Aduh, Kak, kamu mau membuatku masuk IGD tengah malam?"

"Mumpung aku ingat, Ter, kamu tau kan aku pelupa akut? Bukan pelupa si tepatnya, tapi kesibukan membuatku lupa."

Dia masih berkelit juga. Aku sudah menyarankan kakak untuk pergi ke dokter dan mengecek apakah ada masalah di otaknya, mumpung murah dengan menggunakan BPJS. Namun kakak tidak pernah mau.

"Kak, please, rumahmu cuma selangkah kemari, jangan lebay."

"Yah, pokoknya dengarkan, aku mau mengenalkanmu pada seseorang."

Dengan rasa penasaran, kutegakkan tubuh mendekati kakak yang duduk di ujung ranjang. "Siapa?"

"Nah itu dia, aku lupa." Kakak menarik napas berat, keningnya berkerut serius. "Nanti kalau aku ingat, aku kemari lagi."

Aku menepuk keningku, kemudian memperlihatkan mimik sebalku karena merasa dipermainkan oleh kakak malam-malam begini. "Atau kakak bisa WA saja, buat apa punya telepon genggam?"

"Jangan menghamburkan kuota yang gak perlu, aku butuh itu untuk nonton drakor tau."

Aku berdecih ketika pintu menutup. Kurasa pada saat kakak ingat untuk memberitahuku, dia lupa wajah gadis yang mau dikenalkan.


Esok paginya, setelah tawar menawar yang alot, akhirnya Val mengijinkan aku menjemputnya dari rumah sakit tempatnya bekerja, dengan catatan dia yang akan membayar makan malam. 

"Kau sudah putuskan akan kemana?"

Pandanganku menelusuri wajahnya. Bahkan tanpa lipstik atau pewarna apapun di sana, Valerie tampil memikat. "Bakso President saja yang dekat, aku sudah kelaparan."

"Serius? Itu gak terlalu murah untuk lidah Jakartamu?"

Aku menyeringai menanggapi candaaan Val. "Oh ya, kau mau ajak Jaya juga?"

"Tidak, jangan ajak dia!" Jawaban Val yang setengah histeris mengejutkanku. Dia menutup wajahnya dan menggeleng. Sebelum aku sempat menanyakan alasannya, Valerie dengan cepat menarikku pergi, meninggalkan hiruk pikuk pasien dan pegawai rumah sakit yang masih beraktivitas.

Dia menolak menggunakan mobil, karena jarak rumah makan dan rumah sakit hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki. Seketika aku merasa konyol sudah menyamakan Valerie dan Linda.

"Kenapa lagi dengan Jaya?"

"Dia memaksaku, lagi, untuk pergi dengannya ke pernikahan Linda."

"Lelaki itu masih saja keras kepala." Aku mendengkus kesal. "Kau sudah mengatakan padanya menenai calonmu?"

"Belum."Jawaban Val membuatku terkejut. Belum sempat aku bertanya, hujan turun dengan deras. "Cepatlah!" serunya sambil menarikku, berdua kami berlari ke tujuan sebelum basah kuyup. 

Sedikit terlambat mungkin kami akan makan malam sangat larut, karena tempat itu benar-benar ramai. Sambal yang pedas membuat hidungku ingusan. Beberapa kali Val menyodorkan tisu, meski sambil tersenyum, aku yakin tampangku sangat kacau saat ini.

"Bisakah kamu melihat ke arah lain saat ini?" tanyaku sambil menunduk. Bahkan tanpa melihatnya, aku dapat merasakan tatapan Val.

Val tertawa. Oh, aku sangat ingin melihatnya, tapi kuyakin dia akan langsung terdiam, bahkan mungkin dengan segera melarikan diri, begitu melihat wajahku yang kacau dengan ingus masih menggantung. Sial, aku tidak menyangka, sambalnya sepedas ini.

"Paling tidak, ada yang tak berubah darimu."

Kutarik lagi beberapa lembar tisu di depan dan membersit hidungku sebelum bertanya, "Kenapa kau tidak memberitahu Jaya?"

Val menopangkan dagunya ke telapak tangan. "Dia akan langsung menginterogasiku dan aku tidak akan bisa menjawabnya. Tapi aku bilang pada Jaya bahwa Susan suka padanya, hanya saja—."

"Siapa dia, Val?" Dengan sigap, aku menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang sudah ludes isinya, berikut tisu bekas ingus yang berserakan, agar bisa meraih dan menggenggam tangannya. "Ceritakanlah padaku."

Val menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, Ter, bagaimana aku harus cerita?"

Rahangku rasanya jatuh ke tanah, bagaimana mungkin? "Coba kuulangi, kau jatuh cinta pada lelaki yang belum pernah kau temui?" Aku menatap gadis itu tak percaya. "Dari mana kau mengenalnya?"

"Kakakmu yang mau mengenalkanku padanya, tapi sepertinya Kak Tia lupa."

Ini tidak mengherankan, mengingat kakakku memang pikun. Hal yang paling kusayangkan adalah Val percaya padanya. "Kau masih berharap bertemu dengan lelaki misterius itu?"

"Tidak," jawabnya. Well, itu jawaban yang melegakan. "Aku tidak tau. Semoga Kak Tia cepat pulih ingatannya," sambung Valerie.

Mimik sebalku kembali muncul, bertolak belakang dengan wajah Val yang berpendar dengan rasa cinta. Dering telepon Val yang nyaring terdengar, menariknya turun dari khayangan tingkat tujuh.

"Ya? ... Aku segera kembali." jawab Val sambil bergerak bangun dari tempat duduk lesehan.

"Di luar hujan!" pekikku, sementara Val sudah bangkit dan berlari menerobos kerumunan orang untuk kembali ke rumah sakit. Persetan!

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang