Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi rasanya otakku mengalami kelumpuhan saat ini. Aku tidak bisa berpikir.
"Terry, dengarkan aku. Jangan karena masalah ini kamu menyalahkan Kak Tia. Maksudku, mungkin karena pelupa, Kak Tia gak sengaja menjodohkanku dengan adiknya sendiri. Kamu juga nggak perlu khawatir, masalah perjodohan ini hanya kita yang tau. Jadi, anggap saja semuanya gak pernah terjadi dan ...."
Hening sejenak, aku masih menunggu apa yang akan dikatakan Val. "dan kuharap kau menemukan kebahagiaan dengan gadis yang sangat beruntung itu. Itu saja yang ingin kukatakan. Merry Christmas, Ter. Jangan lupa besok ke gereja, ya," pesan Val sebelum menutup sambungan telepon.
Jantungku mencelos, Val bahkan tidak memberiku kesempatan bicara. Aku menatap layar sentuh yang sekarang menampilkan wajahku dan Val yang sumringah dengan latar belakang museum angkut.
Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan? Val menganggap semuanya tidak pernah terjadi, apakah itu berarti dia ingin menyingkirkanku dari hidupnya? Aku menelan gumpalan yang sedari tadi mengganjal di tenggorokan. Siapa pula 'gadis yang sangat beruntung' yang dimaksudnya?
Aku baru teringat apa yang tadi ingin kutanyakan padanya, tanganku membuka WA dan segera mengetikkan sesuatu. Jawab aku, Val, yang mana yang kausuka—sunrise atau sunset?
Meski dua buah centang biru muncul, tapi tidak ada jawaban darinya. Ini benar-benar membuatku frustrasi, dan parahnya aku tak punya teman untuk mencurahkan kegalauanku saat ini. Oh, ada satu!
Kutekan panggilan telepon dan segera saja sambungan itu diangkat. "Jay, katakan padaku, apakah aku bodoh? Kenapa?"
'Kamu lebih dari bodoh dari seekor keledai! Aku terkejut setengah mati, ketika Val mengatakan padaku bahwa kau pergi bersama seorang gadis yang spesial.'
"Gadis yang mana sih? Kemarin aku pergi dengan Susan."
'Iya, betul,' sahut Susan.
"Tunggu, apakah kamu dan Susan sudah resmi berpacaran? Sejak kapan?" tanyaku curiga.
'Urus saja urusanmu sendiri. Aku tidak tau siapa gadis yang dimaksud Val. Hush-hush! Sana pergi, jangan gangguin orang pacaran.'
Katanya sobat, tapi begitu aku mau curhat malah diusir macam kucing lewat. Sahabat macam apa dia? Aku mendengkus kesal. "Satu lagi, Jay. Val suka sunrise atau sunset ya?"
'Hah? Tanyakan saja sendiri!' hardik Jaya kasar sebelum memutuskan sambungan telepon.
Tanyakan saja sendiri! Selama perjalanan pulang dari kantor sampai pada saat aku berbaring di atas ranjang apartemen seperti sekarang, kalimat itu bergaung dalam otakku. Seakan-akan Jaya telah menatonya di otak kecil.
Gara-gara beberapa gelas kopi yang kuminum siang ini untuk membuatku tetap terjaga, sekarang aku menderita insomnia. Mataku sampai perih karena terus menatap nyalang langit-langit yang polos, padahal aku ingin sekali tidur dan melupakan banyak hal. Belum lagi ditambah suara yang menyuruhku 'tanyakan saja sendiri' terus menghantui, rasanya sebentar lagi aku gila.
Beberapa saat kemudian, seakan mendapatkan ilham, aku sadar dan bangkit berkemas.
Subuh dini hari, aku sudah berada di depan rumah Val dengan menaiki penerbangan pertama Jakarta-Malang. Mungkin belum ada yang bangun sepagi ini karena semua lampu tampak padam. Tak masalah jika aku harus menunggu di teras rumahnya, ditemani gerimis kecil dan angin sepoi-sepoi.
Beberapa jam yang terasa lama kemudian, lampu dari jendela kaca terlihat menyala satu per satu, sebentar lagi seseorang seharusnya membuka pintu depan dan menemukan gelandangan di teras rumah. Aku pasti tampak kacau sekarang. Lupakan ganteng, tidak tidur dua hari ditambah dua double-shots espresso lagi di atas pesawat, membuat mataku berbayang sekarang dan tanganku mulai gemetar karena kafein.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPOMPONG [COMPLETE]
ContoSetelah putus dari Linda, Terry fokus untuk mengejar jenjang karir di Jakarta untuk mengubur luka hatinya. Sepucuk undangan pernikahan dari mantan pacarnya berikut permintaan agar dia menghadiri acara tersebut membuatnya frustrasi. Bagaimana tidak...