Aku berlari mengikutinya, kemudian ketika aku dapat menyamakan langkah, kusodorkan jaketku. "Pakai itu, kemejamu gak layak," teriakku di tengah hujan deras. Tanpa banyak protes, Val mengenakannya sambil terus berlari.
Pintu rumah sakit membuka otomatis saat kami sudah berada di depannya. Terkejut aku mendapati Jaya berdiri di sana, matanya menyorot tajam padaku. "Ngapain kamu di sini?" Pertanyaannya yang bernada dingin membuatku mematung di tempat.
Aku baru akan membuka mulut, ketika Val mendahuluiku menjawab pertanyaan Jaya. "Aku mengajaknya makan malam." Dagu gadis itu terangkat menantang, seperti mencoba melindungiku. Namun dari apa? Apakah kondisi di antara mereka begitu parah?
Bahkan saat Jaya menjelaskan situasi darurat, tatapannya yang tajam tak lepas dariku. "Susan di IGD, tangannya terluka dan butuh jahitan."
"Dan kamu masih di sini?" tanya Valerie tajam. Aku mendengar Val mengumpat, gadis itu mendorong dada Jaya kasar dan segera berlari ke dalam.
"Kamu gak akan membantunya, Jay?" tanyaku khawatir, setengah canggung karena Jaya masih saja menatapku tajam tanpa berkedip.
"Gak perlu."
"Kenapa kamu menatapku begitu?"
"Karena sekarang aku membencimu," desis Jaya yang langsung berbalik tanpa menunggu penjelasan apapun dariku.
Kutatap punggungnya yang pergi menjauh dengan rasa kecewa. Ah, sudahlah! Percuma. Meskipun aku menjelaskan pada Jaya sekarang hingga mulut berbusa, saat hatinya sedang panas, penjelasan macam apapun tidak akan masuk ke akal sehatnya. Jadi kuputuskan untuk menunggu kedua gadis itu di ruang tunggu. Paling tidak aku cukup berguna untuk mengantarkan mereka berdua pulang ke rumah di tengah hujan deras.
"Terry, kau masih di sini? Dengan pakaian yang basah seperti ini, kamu bisa sakit." Suara Val yang khawatir hilang timbul dalam pikiranku.
Perlahan mataku membuka dan menatap bergantian pada Val dan Susan. Susan! "Kau tidak apa-apa, San? Jaya memang brengsek!"
Susan tertawa. "Hanya kecelakaan kerja kok, bukannya aku mau bunuh diri. Ketika sampai di sini, bukannya menolong, Jaya malah memarahiku karena ceroboh dan hal lainnya. Itu membuatku jadi marah dan kami bertengkar. Aku menolak jika dia yang mengobatiku. Di mana harga diriku, huh!" jelas Susan memadamkan kekhawatiranku.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Semua kejadian hari ini berputar-putar di kepala, terutama bagian di mana kakakku berusaha menjodohkan Val pada lelaki yang tidak jelas. Kak Tia juga mau mengenalkanku pada seseorang yang dia lupa. Apa pesanan desain pakaian sedang sepi sampai-sampai kakak beralih profesi menjadi mak comblang?
Besok aku harus menemui kakak, toh rumahnya hanya di sebelah. Jika perlu, aku akan mengacak setiap sudut studio desain pakaiannya, mungkin di sana akan ada petunjuk mengenai lelaki yang sudah mendaftar untuk dia kenalkan ke Val. Dari situ, aku akan memanggil dan mewawancarai mereka satu per satu, jika calonnya lebih dari satu. Aku tidak mau sahabatku celaka karena ulah kakak.
Tidak banyak waktu tersisa, acara Linda tinggal tiga hari lagi. Setelahnya, aku sudah harus kembali ke Jakarta segera. Selain karena meeting proyek, aku tidak ingin berada terlalu lama di sini, kota ini dan seisinya mulai membuatku betah.
Aku sedang mengacak-acak isi kotak besar ketiga yang tersimpan dalam studio desain kakak esok paginya, ketika suara pintu terbuka disusul jeritan seorang perempuan yang bisa membuat gendang telingaku pecah.
"Ya ampun, Terry! Kupikir pencuri! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya kakak panik. Ditariknya tanganku hingga keluar studio desainnya dan mengunci pintu itu segera. "Katakan ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPOMPONG [COMPLETE]
Short StorySetelah putus dari Linda, Terry fokus untuk mengejar jenjang karir di Jakarta untuk mengubur luka hatinya. Sepucuk undangan pernikahan dari mantan pacarnya berikut permintaan agar dia menghadiri acara tersebut membuatnya frustrasi. Bagaimana tidak...