ADA APA DENGAN JAYA?

246 43 9
                                    

Aku mengernyit melihat gadis yang berdiri di depanku, secarik keras kusut bertuliskan 'Terry' berada dalam genggamannya. Wajah oval halus dengan rona merah di atasnya membuat gadis itu tampak menggemaskan. Ketika dia tersenyum seperti sekarang, deretan gigi yang terawat dan berbaris rapi, menambah keindahannya.

Hei, fokus, Bro! kesadaran memukulku tepat di kepala untuk berhenti menatapnya. "Ya, betul. Aku Terry."

"Ikut aku," perintah gadis itu.

Kaki ramping yang terbalut jeans sepanjang tiga perempatnya berputar dan bergerak menjauh, meninggalkan aku yang masih terpana. Apa aku seberuntung ini? Pulang ke Kota Malang dan langsung mendapat pacar?

Diam dalam kendaraan, sesekali aku meliriknya yang berada di belakang kemudi. Bahkan dari samping wajah gadis ini enak dipandang—hidungnya lentik di atas bibir mungil yang penuh. Rasanya wajah ini tampak familiar, tapi tidak mungkin. Jika pernah mengenalnya, aku pasti ingat.

Sebentar kemudian, dia menginjak rem dan memarkirkan kendaraannya di depan rumahku. Eh, rumahku? Rasa terkejut membuatku menempelkan wajah ke kaca jendela mobil dan benar saja, ini rumahku. Rasanya aku belum menyebutkan alamat, pun gadis ini tidak bertanya, lalu dari mana dia tau rumahku?

"Maaf, rasanya kita belum kenalan. Aku—."

"Terry, ini aku, Valerie," ujarnya yang membuatku ternganga. "Nah, sudah kukatakan, sebaiknya kamu pulang sebelum benar-benar lupa segalanya."

"Valeri? Gak mungkin. Apa aku gegar otak waktu tercebur di kolam renang? Kemana pergi kaca mata tebalmu? Terus, gigi warna warnimu kau apakan?" Tanganku terulur menangkup kedua pipinya yang menggemaskan, kemudian menarik daun telinga, dan mencubit cuping hidungnya. "Operasi plastik di mana? Bagus banget!"

"Hei, hentikan itu!" serunya sambil menepis tanganku.

Aku masih menatap terpana pada wajah yang bersemu merah di sampingku. "Serius, oplas yang sempurna!"

"Tidak ada oplas-oplasan! Kamu lupa padaku, huh? Dasar teman durhaka." Tangannya dengan cepat terulur dan mencubit dadaku, begitu dalam sampai aku berteriak minta ampun. Rasa sakit itu menyerang hingga ke memori terdalam dan menyadarkanku bahwa dia adalah Valerie yang dulu.

Baru saja aku akan membuka mulut untuk memberinya penjelasan, tiba-tiba pintu mobil terayun membuka. "Ngapain lama-lama di sini? Gak enak sama tetangga. Kalau mau ngobrol di dalam saja," hardik kakak perempuanku.

"Gak, Kak, aku sudah mau pulang kok," sahut Valerie sambil memajukan kepalanya agar terlihat oleh kakak. Sinar rembulan—ataukah itu lampu jalanan (?)—yang menerangi wajahnya membuatku diam mengamati.

"Terry, kalau kamu masih belum juga beranjak, aku terpaksa menyeretmu keluar," ancam kakak, seperti tidak bisa melihat adiknya senang.

Dengan enggan aku keluar dari tempat duduk dan mengeluarkan barang-barangku dari bagasi, tidak lupa kuucapkan selamat malam dan terima kasih atas tumpangannya. Kakak sudah kembali ke rumahnya yang terletak di sebelah rumah ibu, sementara aku masih menunggu di luar, melihat mobilnya bergerak menjauh.

Berada di atas peraduan, pikiranku mulai menggali lagi memori mengenai Valerie. Masih jelas dalam ingatan, waktu Linda mengenalkan aku padanya di awal perkuliahan. Ya, mereka adalah teman baik semasa SMA. Kemudian Valerie mengenalkan kami pada Jaya. Susan di lain pihak adalah teman kuliah Linda yang akhirnya masuk dalam geng kecil kami.

Di antara mereka berempat, Valerie memang berbeda dari Susan dan Linda. Sementara teman perempuan lain sering baper dan manja, dia tidak. Sikapnya yang tenang membuatku merasa aman dan percaya untuk bercerita apapun padanya. Oleh karena itu, alih-alih menghindarinya yang notabene adalah sahabat Linda, Valerie adalah orang pertama yang kutelepon untuk curhat masalah kandasnya hubungan asmaraku dengan teman baiknya. Aku bahkan tidak ragu untuk menangis di telepon waktu itu.

Kubayangkan lagi wajah Valerie yang dulu—mata terbingkai kaca tebal, gigi kawat berwarna, poni rambut yang menutupi sebelah wajahnya, belum lagi pakaian yang jauh dari kata modis. Kemudian, dengan kemampuan mengkhayal seorang arsitek, aku melepas satu per satu atribut di wajahnya, menggulung rambutnya ke atas, dan mengganti pakaiannya dengan yang layak.

Voila! Tetap tidak sama dengan gadis yang barusan mengantarku pulang. Aku masih belum dapat mencerna bagaimana seorang gadis culun berubah jadi menggemaskan. Aneh sekali, apa yang membuat Val berubah?


23 Desember 2019 adalah tanggal pernikahan Linda, artinya kurang dari dua minggu lagi, tapi pikiranku tidak fokus ke sana. Esok paginya, aku bangun dan segera menelepon Jaya untuk mengajaknya keluar, berdua saja. Pada jam makan siang, kami bertemu di sebuah kafe, dekat rumah sakit tempatnya bekerja.

"Awalnya aku gak percaya kamu mau juga pulang, Ter. Kupikir tidak ada yang bisa membuatmu kembali," ujar Jaya, memamerkan seringai percaya dirinya yang dulu digilai para mahasiswi yang menonton pertandingan UKM basket yang kami ikuti.

"Yeah, mau gimana lagi? Kalau gak pulang, mungkin aku bisa gila, karena semua orang meneleponku setiap hari hanya untuk itu." Aku berterima kasih pada seorang pelayan yang membawa pergi piring-piring kosong, sekaligus mengantarkan pesanan baruku, segelas Americano dalam mug.

Duduk di teras kafe, baru kusadari bahwa diam-diam aku merindukan kota ini. Cuaca mendung bulan Desember dan semilir angin  sejuk yang menyelinap di antara hijau pepohonan, berbanding terbalik dengan gerahnya Jakarta, ditambah polusi asap dan polusi suara yang rutin menghiasi hari-hariku.

"Kamu sudah punya pasangan untuk pergi ke pesta pernikahan Linda?" tanya Jaya, kepulan asap vape bersisi cairan Tokyo Banana memenuhi udara ketika dia menghembuskannya.

"Belum, kamu?"

"Aku ingin mengajak Valerie."

Aku terdiam. Sebuah pertanyaan tebersit, apakah Jaya dan Val berpacaran? Well, bukannya tidak mungkin mengingat mereka sama-sama tinggal di sini dan bekerja sebagai dokter di rumah sakit yang sama, tapi baik kakak atau ibu tidak pernah mengatakan apa-apa.

Rasa penasaran membuat lidahku terasa gatal untuk bertanya, "Kamu naksir Val, ya? Hayo, ngaku!" Jaya tidak menjawabku, hanya seringainya mengembang indah. Sambil menyeruput Americano, aku mempelajari mimik Jaya. "Kemarin ketika Val menjemputku dari Bandara, aku terkejut. Dia berubah 180°." 

Matanya sedikit membelalak, dia jelas terkejut. Ketika Jaya menoleh, matanya memicing dengan cara yang membuatku gentar. "Bagaimana Val tau tanggal pulangmu? Apa kamu sering menghubunginya?"

"Nggak koq. Tapi kamu benar, darimana ya dia tau tanggal pulangku? Kemarin aku lupa menanyakannya." Aku mencatat itu di otakku dan akan menanyakan pada Valerie ketika aku bertemu dengannya lagi.

Mimik resah terpancar di raut Jaya. Kembali asap itu mengepul dari bibirnya ketika dia berkata, "Val berubah karena seseorang."

"Seseorang?" tanyaku terkejut. "Dia sudah punya pacar atau suami? Kenapa dia gak bilang?"

"Kamu itu seperti nenek tua yang bawel, Ter. Jangan-jangan kamu juga menyimpan perasaan pada Val," tuduh Jaya bernada cemburu, yang membuatku bertanya-tanya, ada apa dengan mereka?

"Bukan gitu. Kalau kamu mau mengajaknya, silakan saja."

"Dia menolakku," ujar Jaya, napas berat terembus menyertai kepalanya yang tertunduk.

"Apa yang terjadi selama aku pergi, Jay? Di antara kita berlima, hanya aku dan Linda yang tidak hidup di surga kecil yang damai bernama Malang. Jujur aku sempat iri dengan kehidupan kalian yang seakan gak dikejar materi." Aku berhenti sebentar untuk menyesap kopi hitamku, sebelum melanjutkan, "Tapi, mengapa aku menangkap nada tidak bahagia?"

Tangan Jaya menyugar rambutnya. Aku bisa menangkap rasa frustrasinya yang lebih pekat dari asap vape di udara. "Bukankah kalian bekerja di rumah sakit yang sama? Apa ada masalah?"

"Masalahnya, aku gak tau siapa yang disukai Val."

"Mungkin Susan tau. Apa kamu sudah menanyakannya?" Jaya diam. Keheningan yang tiba-tiba membuat keningku berkerut dengan banyak pertanyaan. "Kenapa tidak kamu tanyakan padanya?" desakku.

"Karena—." Jawaban Jaya menggantung di udara. Aku menunggu.

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang