PESTA PERNIKAHAN LINDA

148 30 0
                                    

Tuhan, kumohon maafkan hambaMu ini.

Pagi ini, sementara semua tamu khusyuk berdoa, mataku tidak bisa berkedip menatap punggung Val. Gadis itu menghipnotisku sejak dia masuk dalam Gereja Kayu Tangan bersama empat orang bridesmaid lain, mengiringi Linda dalam gaun pernikahan yang super mewah.

Lagu Ave Maria yang berkumandang sekarang, malah membuat khayalanku menjadi hidup. Rasanya aku melihat St. Michael memimpin para cupid masuk dalam gereja. Mereka berputar-putar di sekeliling Val dan melepaskan panah cinta, tapi gadis itu sama sekali tidak menoleh.

Ujung jemariku dingin dan gemetar, aku tidak sabar menunggu hingga prosesi pernikahan selesai untuk bertemu dengannya.

Begitu acara pemberkatan selesai, aku langsung melesat ke pintu keluar dan menunggu Val di sana. Namun hingga para tamu pulang, aku tidak menemukan baik Val maupun Jaya. Rasa kecewa membuat bahuku lunglai.

Dengan gontai aku berjalan ke lapangan parkir dan menyetir pulang. Ya sudah, nanti sore aku toh masih bisa bertemu dengannya, karena besok pagi aku sudah harus berangkat ke Jakarta lagi untuk mengejar deadline proyek. Aku tidak tau apa yang akan kubicarakan dengan Val, aku hanya ingin bertemu dengannya sekali lagi sebelum pergi.


Aku sudah berada di rumah Susan sejak satu jam yang lalu, namun hingga pukul 16.45, Susan belum juga turun dari kamarnya di lantai atas. Dengan cemas, aku meremas-remas tanganku sendiri. Kelihatannya aku akan terlambat, matilah! Linda bisa menjambak rambutku hingga aku terpaksa harus membeli wig, kalau sampai acaranya kacau karena salah satu bridesmaid-nya terlambat. Sikap perfeksionis Linda memang salah satu yang membuatku patuh--jika tidak ingin dibilang takut--padanya, dulu.

Suara high heels yang beradu dengan landasan tangga dari kayu membuatku menoleh dan terpana. Bukan karena penampilan gadis itu yang cantik, tapi pakaiannya. Susan mengenakan gaun Tinkerbell yang didesain kakak!

Rahangku seperti lepas dari engselnya. "Ka-kau ... dia?" gagapku. 

Susan tertawa sambil berkelakar, "Me Jane, you Tarzan." Kurasa akhirnya dia sadar bawa aku tidak tertawa, karena sekarang dia menatapku dengan dahi berkerut, "Kau baik-baik saja, Ter?"

"Kakakku tidak bilang apapun padamu?"

"Tidak." Susan terkejut ketika melihat angka pada jam tangannya. "Oh, Ter, cepatlah! Linda bisa histeris jika kita terlambat!" tangan Susan dalam genggaman menyeretku keluar. Kami berpamitan dengan orang tua Susan dan langsung melesat pergi. 

Kurasa ada tombol auto-pilot dalam mobilku, karena tanpa berusaha, dua puluh menit kemudian kami sampai. Susan langsung melesat keluar dan masuk ke dalam aula resepsi begitu mobil berhenti di lobi. Sementara aku lanjut berkendara, memarkirkan mobil di area parkir terdekat. Aku tidak terburu-buru keluar dan memilih untuk berada di dalam mobil sebentar. Dalam keheningan, aku mencoba menguraikan isi pikiranku yang penuh dengan banyak pertanyaan.

Jadi ... gadis yang ingin dijodohkan kakak denganku itu Susan?

Benarkah Susan telah menungguku selama ini?

Tapi kan Susan menyukai Jaya?

Sebenarnya yang bodoh itu aku atau Jaya?

Rasa frustrasi membuat tanganku otomatis bergerak mengacak rambut, dan baru sadar tatanan salon seharga tiga ratus ribu itu rusak oleh jemariku. Aaargh!

Meski berada di tengah keramaian pesta dan dikelilingi teman kuliah serta kenalan, aku merasa hampa. Aku tidak lagi mencari baik Susan maupun Val, untuk apa? Aku merasa ini adalah sebuah karma. Sekarang aku tau perasaan Jaya ketika aku menyodorkan Susan padanya, padahal dia menyukai Valerie.

Tanganku terus menyuap kudapan berupa kue-kue kecil ke dalam mulut tanpa benar-benar menikmati rasanya. Sementara jauh di depan panggung, Linda dan temanku sedang melakoni wedding kiss.

"Woi, kau baik-baik saja? Kau terlihat depresi," ujar Jaya sambil menepuk bahuku.

Terkejut dengan sapaan yang tiba-tiba, aku menoleh dan mendapati seringai lebar yang tidak biasa terlukis di wajah sahabatku, atau mungkin ini hanya halusinasiku saja karena suasana hatiku sedang buruk.

"Apa itu terlihat jelas di wajahku?" tanyaku datar. Sepotong Black Forest berukuran 2cm x 2cm kembali memenuhi ruang dalam mulutku, rasa manis yang bercampur dengan sedikit rhum membuat perasaanku lebih baik.

"Rambutmu seperti Frankenstein." Tawa Jaya memancing mimik sebalku yang sejak tadi berusaha kusembunyikan. Bagaimana tidak, setelah sabar menunggu hari ini, ternyata aku menemukan hal yang tidak kuharapkan.

Aku tau, mungkin aku yang kurang bersyukur. Maksudku, apa sih kekurangan Susan? Dia cantik, pandai memasak, dan lemah lembut. Cerewet sih, tapi itu karena dia peduli. Lalu, di mana keberatanku jikalau dia adalah orang yang dijodohkan denganku?

Masalahnya, aku tidak punya chemistry pada Susan—sesuatu yang meletup-letup di dada, yang membuat ujung jemariku bergetar ingin menyentuhnya, dan rasa rindu untuk bertemu dengannya lagi padahal baru saja berpisah.

"Kalau jomlo jangan ngenes-ngenes amat, Ter. Sini ikut denganku, kita kumpul di sudut sana, tempat para bridesmaid berada. Siapa tau setelah ini kamu bisa mengantar salah satunya pulang untuk diperkenalkan pada keluarga." Belum sempat aku berkomentar, rangkulan Jaya pada bahu menyeretku pergi.

"Ladies, kenalkan sobatku, Terry. Well, Terry, kenalkan—Susan dan Valerie, tentu saja. Ini Nadia, Amanda dan Dea."

Mataku membelalak, rasanya aku ingin pulang sekarang dan mengguncang-guncang kakakku. Mungkin juga langsung membawa kakak pergi menemui dokter spesialis agar otaknya dapat dibedah biar kulihat isinya. Di depanku saat ini, berdiri lima orang bridesmaid dalam pakaian Tinkerbell berwarna emas. Masa kan aku harus memacari kelimanya untuk tau gadis mana yang dijodohkan denganku? Aku sih tidak keberatan, mereka semua cantik.

Gadis-gadis itu segera mengerubungiku, mereka cukup agresif hingga aku tak perlu basa-basi. Layaknya artis, mereka menanyakan 1001 pertanyaan mengenai pekerjaanku, di mana aku menetap, kekasih (?).

Gemerisik bunyi mic mendahului suara MC memecah tiupan saxophone yang melantunkan lagu Perfect milik Ed Sheeran. Dengan nada mengajak, lelaki dalam jas merah muda itu berkata, "Bagi rekan-rekan yang single fighter diharap maju ke depan. Sebentar lagi kita akan mengadakan lempar bunga. Hadiahnya menggiurkan loh, jadi jangan ketinggalan. Ayo singles, mendekat ke panggung!"

Teriakan penuh semangat dari bawah panggung menyambut ajakan MC. Gadis-gadis itu mendorongku ke tengah panggung bersama dengan sekumpulan orang lainnya dari beberapa arah. Sebelum hanyut mengikuti arus, aku sempat melihat tangan Jaya yang menggenggam jemari Susan.

Lagu bernada ceria gantian berkumandang, mengiringi para jomlo yang histeris untuk mendapatkan buket pengantin, yang katanya dapat membuat seseorang menemukan jodohnya. Di tengah-tengah keramaian, aku menengok ke kiri dan kanan, kemudian ke sekeliling, namun Val tidak terlihat di manapun. Rahangku mengetat dengan rasa khawatir, ke mana perginya dia?

Kuputuskan untuk menyeruak keluar dari keramaian, toh kekurangan satu orang jomlo tidak akan membuat acara itu terhenti. Aku mencarinya ke sudut-sudut ruangan, ke bagian penerima tamu, hingga ke toilet perempuan. Namun dia tidak ditemukan, teleponku pun tidak di angkatnya. Rasa cemas melandaku hingga membuat dada sesak dan perut mulas.

Kemudian aku meliatnya berdiri di bawah sana, sendirian di teras lobi. Oh, please, Val, jangan pulang sekarang.

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang