PENGAKUAN JAYA

144 31 0
                                    

Kedua dokter itu bicara dengan antusias, sementara Valerie lebih banyak menanggapi pembicaraan mereka dengan tawa. Kalau dipikir-pikir, mudah sekali membuat Val senang, bahkan pada hal sederhana, seperti melihat seekor anak kucing.

Oh, Val, siapapun lelaki yang kelak bersanding denganmu, dia sangat beruntung.

Pikiran itu menohokku dan membuat waktu seakan berhenti. Ada rasa tidak rela jika Val harus bersama orang lain. Mungkinkah persahabatan yang terlalu erat dan dalam jangka waktu lama membuat orang merasa memiliki sahabatnya? Jangan-jangan Jaya juga berpikir begitu.

Dengan napas berat, kuputar tubuh meninggalkan Val dan berjalan menuju kafe rumah sakit yang terletak di lantai tujuh. Matahari yang masuk dari sunroof di teras kafe, menampilkan siluet Jaya yang rupanya sudah menungguku.

"Tumben, on-time," sapaku.

Asap vape mengepul dari bibirnya ketika dia berkata, "Aku di sini sejak pagi, belum ada pasien masuk. Mungkin mereka semua sudah pergi keluar kota."

Ada benarnya juga, mengingat tinggal seminggu lagi menuju tahun baru. "Ada apa, Jay?"

Kutarik kursi di seberang Jaya dan duduk menatap pemandangan rumah sakit dari ketinggian. Tiba-tiba aku merinding, bagaimana jika Jaya berniat membunuh dengan mendorongku ke bawah sana?

"Val akhirnya menerima ajakanku ke pesta pernikahan Linda. Kurasa aku harus berterima kasih padamu."

Aku menoleh cepat ke arah Jaya. Darahku bergolak, terbayang sikap kasar Jaya terhadap Val. "Apa kau memaksanya lagi? Kan sudah kubi—."

"Tenanglah. Val yang meneleponku kemarin. Aku juga tidak percaya kalau dia mengajakku di saat-saat terakhir," potong Jaya santai. Seringai kemenangan terlukis di wajahnya. "Mau makan apa? Kutraktir."

Seorang pelayan datang setelah Jaya melambai ke arahnya. Kutunjuk beberapa jenis menu tanpa benar-benar yakin bahwa aku bisa memakannya. Rasanya perutku bergolak, entah karena asam lambung atau terguncang dengan informasi barusan.

"Susan gak ikut pemberkatan di gereja, tapi sorenya dia pasti datang," jawabku ketika Jaya menanyakan bila aku dan Susan akan mengiringi acara dari pagi.

"Kita akan ada di sana dari pagi."

Aku tidak jadi menggigit burger tebal yang sudah menunggu di depan mulut. Kita? Apakah dalam waktu dekat aku akan menyaksikan Val dan Jaya berdiri di pelaminan? Aku merasa dadaku diremas tangan kasat mata.

"Hei, kau mendengarku? Val dan Susan akan jadi bridesmaid, jadi jangan telat."

"Oh ... oke. Jam berapa?"

"Acara dimulai pukul 18.30, jadi kalian harus tiba paling telat pukul 17.30." Aku mengangguk mendengar instruksi Jaya, kemudian melanjutkan makan tanpa selera.

Ajaib, betapa rasa frustrasi bisa membuat tiga paket menu large yang kupikir tak sanggup kusantap, akhirnya ludes juga. Sesampainya di rumah, aku muntah. Bukan karena aku menderita anoreksia atau semacamnya, tapi karena mual. Badanku panas tinggi dan jalanku sempoyongan, mungkin karena hujan semalam.

Kupejamkan mata sore itu, berharap cepat sembuh. Berharap bisa kembali ke Gereja Kayu Tangan dan tidak berkata sesuatu yang konyol, dan menyesalinya sekarang.


Val menepuk pipiku, bibirnya yang penuh menggumamkan sesuatu yang tak dapat kutangkap jelas. Tepukan itu kemudian menjadi lebih keras ketika dia berkata, "Bro, bangun, Bro!"

Bro? Aku terkejut dan segera bangkit dari tidur. Kutemukan Jaya menertawaiku dari ujung kasur, sementara ibu berdiri di sampingku dengan tatapan cemas. 

"Kamu sakit kok diam-diam saja, Ter, badanmu panas sekali. Jadi ta'panggilkan dokter. Apa saja keluhanmu, bilang ke Jaya, biar bisa diobati. Ibu keluar yo biar kalian bisa ngobrol lama."

"Harusnya Val yang kemari, tapi dia menyuruhku. Rupanya sesuatu terjadi di antara kalian." Aku baru akan menyanggahnya, tapi tidak jadi ketika Jaya melanjutkan, "Jangan menyangkal, Ter, wajahmu terlalu jujur. Kamu juga suka pada Val kan? Jujur saja."

Aku bungkam. Apa jawaban yang diharapkan Jaya? Apa dia benar-benar mengharapkan aku untuk jujur dan mengaku bahwa aku juga menyukai Val? Dengan kondisi lemah begini, dia bisa membuatku tertidur lama dengan sekali tinju. Lagipula, aku tidak mau Jaya atau Val patah hati. Cukup hatiku saja yang hancur, mumpung luka yang lama belum sembuh.

"Kamu barusan mengigaukan namanya."

No shit! Aku mengubur wajahku dalam tangan. Sekarang bagaimana caranya aku mengelak? "Kau tidak perlu khawatir Jay, brotherhood rules masih berlaku."

Tawa Jaya semakin keras, aku menatapnya curiga. "Lupakan brotherhood rules, kau itu sobatku, Ter. Kalau memang Val tertarik padamu, ya silakan saja. Aku hanya ingin dia bahagia."

Aku mengernyit mendengar kalimat Jaya barusan, apa kupingku bermasalah? "Lalu mengapa kemarin kau menonjokku?" protesku dengan mimik sebal.

"Aku benci pengecut. Kalau kamu benar-benar suka pada Val, akui saja di depanku. Aku tidak buta, Ter. Aku bisa melihat bagaimana chemistry di antara kalian berdua. Val juga sama saja bodohnya dengan kamu, dan kalian membuatku geram.

"Aku tau, kamu orang yang baik dan tidak mau ada yang tersakiti, tapi itu salah. Sesekali menjadi egois itu perlu, demi kebahagiaanmu," ujar Jaya menasehati.

"Ngemeng aja kamu, Jay. Kamu sendiri terlalu egois, sampai-sampai gak sadar telah menyakiti perasaan Susan."

"Hey-hey! Resep dokter itu harus kauturuti, bukannya dibantah!" hardik Jaya sambil bersidekap.

Sial! Umpatku dalam hati.

"Jadi gimana? Besok kamu mau menjemput Val dan aku menjemput Susan?"

Aku menggeleng. "Aku sudah janji pada Susan. Aku tidak mungkin ingkar." Kuembuskan napas perlahan, kemudian melanjutkan, "Jay, aku akan membiarkan Val memilih."

"Terserah. Asal kamu tau, aku selalu mendapatkan keinginanku. Kalau sampai nanti kamu mati jomlo, jangan salahkan aku ya, karena perempuan seperti Valerie Lukman, cuma ada satu di dunia."

"Kalau sudah mati, gimana juga aku menyalahkanmu?" gerutuku.

"Idih, pasien macam apa kamu itu? Membantah melulu. Mau kuracun, biar diam?" ancam Jaya sambil mengacungkan tinjunya. Dengan kesal, dia menonjok dadaku, kemudian kami terbahak bersama.

Syukurlah, ternyata tidak ada masalah besar antara aku dan Jaya. Malamnya, aku bermimpi lagi, bersanding di pelaminan dengan Valerie. Mimpi yang terlalu indah untuk jadi nyata.

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang