"Makan malam denganku, Val." Aku terkejut mendengar ajakanku sendiri. Apakah aku kesurupan? Dari mana datangnya pikiran gila ini?
Val menatapku ragu. "Terakhir aku makan malam denganmu, kau berakhir dengan pipi biru."
Ah, benar juga, kalau sampai aku mundur artinya aku takut dengan Jaya. Tidak--tidak, biarkan saja Jaya mati berdiri melihatku pergi berdua lagi dengan Valerie. "Aku tetap akan mengajakmu makan malam," ujarku dengan seringai mengembang. Karena khawatir kalau ajakanku mungkin akan membuat Val salah paham, maka kutambahkan, "Sebagai tanda terima kasih, tentu saja. Kujemput kau setelah shift-mu berakhir."
Hujan gerimis sejak sore tidak menyurutkan semangatku untuk pergi menjemput Val malamnya. Berhubung shift-nya berakhir malam, maka aku membawanya makan malam di Toko Oen, yang lagi-lagi tidak jauh dari rumah sakit. Lahan parkir yang penuh memaksaku harus memarkirkan kendaraan cukup jauh dari restoran dan mau tidak mau harus berjalan kaki dengan Val menembus gerimis.
"Dingin juga ya?" tanyaku setelah menghabiskan dua porsi nasi berikut sop buntut yang hangat.
"Iyalah, Ter, bukannya nambah makan yang hangat-hangat, kamu malah makan es krim di hari hujan gini." jawab Val ketika makanan penutupku datang.
Karena spesialisasi Toko Oen adalah es krim, jadi tidak ada salahnya kalau aku memesan Oen's Symphony, salah satu best seller es krim di sini. Tampaknya bukan aku saja, karena ketika mengedarkan pandangan, tamu lainnya pun memesan es krim tanpa peduli dengan cuaca buruk di luar toko. Val juga sepertinya tidak tahan untuk tidak mencicipi es krim yang tersaji di depanku, sesekali dia mencolek gundukan es krim itu dengan sendoknya.
Makan malam itu menyenangkan, namun hingga toko tutup, hujan malah semakin deras. Bersama dengan tamu lain yang tampaknya juga tidak dapat pulang dengan alasan yang sama, kami menunggu di luar dengan punggung merapat ke dinding toko. Meski tanpa bicara, aku senang berada di sampingnya, perasaanku terasa nyaman.
"Terry, kurasa kita harus pulang sekarang. Sudah hampir tengah malam dan besok shift-ku dimulai pagi hari."
Aku menimbang, sedikit berat hati untuk mengantarnya pulang. Namun bagaimanapun, Val adalah seorang dokter yang memerlukan konsentrasinya besok pagi untuk mengobati orang lain. Jadi aku hanya mengangguk, kemudian kuraih tangannya dan kami berlari menembus hujan menyeberang jalan.
Ketika kami menelusuri pelataran Gereja Kayu Tangan yang terletak di seberang Toko Oen, pikiran gila merasuki. Spontan saja kutarik tangannya menuju gereja tersebut. "Eh, Terry, mau kemana?" teriak Val di tengah hujan. "Kita harus pulang sekarang!"
"Kamu tidak mau berdoa dulu?" tanyaku tanpa rasa bersalah di bawah teduh naungan atap, di muka gereja.
Val menatap lama, mencari sesuatu di kedalaman mataku sebelum menjawab, "Baiklah. Mari kita berdoa sebelum pulang."
Kami menyusuri jalan menuju altar dan mengambil tempat duduk di salah satu baris bangku. Di beberapa tempat berjauhan, kulihat bukan kami saja yang berdoa, beberapa orang lain juga sedang memanjatkan doa dalam temaram suasana gereja. Dengan jemari terpaut, kami mulai membacakan doa dalam hati.
"Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin," ujarku menutup doa sambil membuat tanda salib.
Val masih berdoa. Gadis itu tampak cantik meski tatanan rambutnya sekarang kusut dan air hujan masih menetes perlahan dari kepala membasahi bahunya yang ramping. Bagaimana mungkin aku baru menyadarinya sekarang? Kemana saja kau selama ini, Ter? Buru-buru aku mengalihkan perhatianku ketika Val menutup doanya dengan tanda salib.
"Apa isi doamu?" tanyaku begitu Val selesai berdoa.
"Rahasia," jawab Val terkekeh.
"Kamu masih berharap bertemu dengan lelaki misterius itu ya? Kukatakan padamu, kakakku mungkin tak akan mengingatnya lagi, jadi jangan terlalu berharap." Kalimat itu terdengar dingin bahkan di telingaku. Dengan segera, aku membenci diriku sendiri.
"Kamu bisa menjadi dia, kalau mau," canda Val, diikuti tawanya yang merdu. Meski bernada canda, menurutku itu tidak lucu sama sekali.
"Jangan terus hidup di fantasimu, Val. Dunia tidak seindah yang kaulihat. Aku tidak mungkin bisa menjadi lelaki misterius yang kautunggu." Bagai menggigit buah maja, kalimatku menimbulkan rasa getir di lidah setelah mengatakannya. Aku seharusnya minta maaf atas kalimat bodoh yang sudah kulontarkan padanya, alih-alih aku hanya terdiam.
Dadaku terasa sesak, aku tidak mau mengatakan aku cemburu walaupun itu adalah kenyataannya. Aku cemburu pada lelaki sialan yang tidak kunjung datang. Mungkin kakakku pelupa, tapi masa lelaki itu juga tidak tau kalau dia dijodohkan dengan Val? Jika sampai aku bertemu dengannya nanti, aku pastikan akan menojoknya tepat di wajah, seperti yang Jaya lakukan padaku.
"Aku minta maaf, Terry." Val menggigit bibirnya, kemudian melanjutkan, "Kau mau pergi denganku ke pernikahan Linda?"
"Maaf, aku tidak bisa," jawabku ketus. "Aku ada janji dengan seorang gadis."
Hening.
"Wah, gadis itu beruntung sekali, pasti dia seseorang yang special." Val mengangguk-anggukkan kepala.
"Ya." Aku bersumpah melihat tatapannya berubah semuram langit di luar sana, sedetik sebelum Val memalingkan wajahnya yang sendu dan berjalan pergi.
"Pulang yuk, aku lelah," ujarnya memunggungiku.
"Ketemu! Nih, Ter, sebelum aku lupa lagi. Ini gaun yang akan dipakai gadis itu nanti, cari dia."
Apaan sih kakak, pagi-pagi sudah mengganggu tidurku, tidak tau apa kemarin aku sampai rumah dini hari? Kutarik selimutku hingga menutupi kepala, tapi kakak tidak menyerah, dia menarik benda itu turun.
Yang mengesalkan adalah Kak Tia membuka paksa salah satu kelopak mataku dan mendekatkan foto itu ke retina. Jarak pandang yang demikian dekat bisa saja membuat aku buta. "Aaargh! Pergi sana!" usirku.
"Terserahlah, asal kau tau, gadis itu sudah menunggumu lama."
Setelah pintu menutup, kulemparkan selimut ke samping dan segera mencari foto gaun yang ditinggalkan kakak. Ah, gaun keemasan yang mudah dicari—potongan leher rendah dan rok berlapis seperti Tinkerbell. Aku menyeringai.
Bayangan wajah Val yang sedih muncul dan mengusir rasa senangku. Kurut wajah dengan kasar, aku memang keterlaluan kemarin. Namun aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan diri. Val terlalu baik hingga mudah dibodohi. Mau sampai kapan dia menunggu?
Kuakui, aku sangat menyukai Val, tapi aku tak mau menjadi bayangan lelaki misterius itu, sesempurna apapun dia. Dari cerita Val, yang diceritakan kakak, lelaki itu katanya tampan, tinggi, terpelajar, humoris, bertanggung jawab, dan yang paling penting, dia tinggal di apartemen, yang artinya lelaki itu berduit. Kurasa aku punya semuanya, kecuali di bagian duit.
Pffft ... apa-apaan aku ini, malah membandingkan diri dengan dia yang entah siapa. Cih!
Notifikasi WA dari Linda barusan masuk ke telepon genggam. 'Besok jangan lupa datang ya, Terry sayang. Thanks!' Aku hanya membalasnya singkat, 'Ya.'
Tak lama kemudian, benda itu kembali berdenting. 'Bro, makan siang ketemuan di kafe rumah sakit ya.' Alisku langsung terangkat menatap notifikasi WA yang baru masuk dari Jaya. Apa yang ingin dibicarakannya? Mengenai Val atau Susan? Ataukah melanjutkan perkelahian kemarin?
Apapun itu, kupastikan datang. Dua jam selanjutnya, aku sudah berada di rumah sakit, lebih pagi satu jam dari seharusnya. Jadi, kuputuskan untuk berjalan-jalan di area rumah sakit.
Lobi di lantai dasar cukup baik, traffic flow-nya nyaman, baik untuk petugas dan pasien, karena didukung dengan lorong yang lebar. Lantai dua ditempati ruang praktek dokter untuk peserta BPJS, pantas saja penuh. Penataan ruang tunggu yang kurang baik dan terkesan seadanya membuat pemandangan yang kumuh. Seharusnya, pihak rumah sakit menambahkan bangku-bangku tunggu lebih banyak agar pasien tidak duduk di lantai seperti pengemis.
Begitu pintu lift membuka di lantai tiga, langkahku terhenti. Val baru saja melewatiku bersama dua orang dokter lain di sisi kiri dan kanannya. Salah seorang dokter lelaki di kirinya menaruh tangan di punggung Val sebentar, kemudian melepasnya. Pemandangan itu menggangguku, tapi tak bisa mengusirku begitu saja. Diam-diam aku mengikutinya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPOMPONG [COMPLETE]
Short StorySetelah putus dari Linda, Terry fokus untuk mengejar jenjang karir di Jakarta untuk mengubur luka hatinya. Sepucuk undangan pernikahan dari mantan pacarnya berikut permintaan agar dia menghadiri acara tersebut membuatnya frustrasi. Bagaimana tidak...