KUNJUNGAN VALERIE

183 38 0
                                    

Tanganku meraba-raba permukaan nakas di samping ranjang, mencari telepon genggamku yang sedari tadi berbunyi, mengganggu tidur yang pulas. "Ya?" tanyaku masih dengan mata terpejam.

"Aku di depan, buka pintu."

Aku membelalak, kelopak penglihatanku seakan dibuka paksa, rasa perih segera menusuk-nusuk retina mata. "Val? Jam berapa i-." Belum lagi kalimatku selesai, sambungan itu putus. Berganti dengan ketukan keras yang berasal dari pintu depan. Aaargh!

Jam enam pagi di hari senin pula, apa dia gila? Aku segera bangkit, tergesa-gesa menuju bagian depan rumah dan membuka pintunya dengan kasar. "Kamu mengganggu tidurku tau!"

Val menatapku terkejut. Matanya yang membulat cantik sekali, pipinya merona sewarna bunga ros, dan bibir penuh yang setengah membuka itu sungguh menggiurkan, membuatku terpaku di tempat. Aku melangkah mundur, berbalik dan segera melarikan diri ke kamar tidur.

Setelah pintu terbanting di belakang, aku bersandar di daunnya dan merasakan hal yang tidak biasa-jantungku tidak lagi berdenyut tapi berdebur kencang, bibir pun terasa kering. Apa yang terjadi padaku? Mengapa pula aku melarikan diri? Ya, Val sekarang cantik, tapi bukan berarti aku punya perasaan spesial padanya, bukan?

Demi Tuhan, kami sudah berteman selama tujuh tahun. Jika aku menyimpan perasaan padanya, kenapa tidak dari dulu aku memacarinya dan malah menjadikan Linda kekasihku?

Aku belum sikat gigi. Ya, pasti itu alasannya aku kabur. Pasti karena takut Val pingsan jika terlalu dekat denganku. Apalagi alasan yang masuk akal selain daripada itu? Gedoran keras itu sekarang pindah ke balik pintu kamarku, membuyarkan apapun yang sedang kupikirkan saat ini.

"Tu-tunggu aku di ruang tamu situ. Nonton atau apalah, lebih baik jika kamu bisa memasakkan sesuatu untukku!"

"Apa katamu?" tanya Val. Aku bertanya-tanya, apakah dia tidak mendengar permintaan barusan atau menantangku.

"Eh, tidak apa-apa. Tunggu saja di luar." Segera kubersihkan gigi dan tubuhku, tak lupa bercukur, agar terlihat ganteng. Sebagai penutup, kusemprotkan parfum sebelum melangkah keluar.

Wangi telur dadar memenuhi udara ketika aku membuka pintu kamar. Dadaku membusung karena rasa senang, rupanya gadis itu benar-benar memasakkan sesuatu untukku.

"Terry, kamu gimana? Anak orang kaubiarkan sendirian gini?" hardik ibu begitu kakiku menginjak dapur. Di tangannya terdapat piring yang sudah terisi dengan beberapa lembar telur dadar. Ah, rupanya aku terlalu banyak berharap.

"Jangan khawatir, di sIni sudah seperti rumahku juga, Tante," ujar Val menenangkan.

Senyuman membuat dia seperti bercahaya, aku sampai lupa akan telur dadar buatan ibu yang tadi membuatku meneteskan air liur. Ingin rasanya kutarik tangan Val sekarang dan membawanya pergi jalan-jalan sekarang juga.

Seperti mengetahui pikiranku, ibu menyuruh kami makan dulu sebelum pergi. Katanya rumah ini sudah sepi beberapa lama, dan ibu ingin makan ditemani orang lain. Jadi kami makan di rumah. Namun ini pun rasanya menyenangkan, ibu dan Val teman ngobrol yang cocok, dan aku menikmati kicauan mereka. Ibu benar, dengan tambahan satu orang, rumah ini serasa-.

"Terry, ibu belum melihatmu mengedip sejak kau masuk ke dapur."

Aku terkejut dan merasa sebal dengan sindiran ibu barusan, yang mungkin membuat wajahku merah padam saat ini. Jika rasa tertarikku pada Val begitu jelas, apa ibu tidak bisa hanya mencolekku dan tidak mempermalukanku di depan Val?

"Apaan sih bu? Nih, lihat kedipan mataku." Aku mengedipkan mata berkali-kali ke arah ibu, hingga membuat kedua perempuan itu tertawa. Kemudian setelah tawa mereka reda, aku melanjutkan, "Lagipula, Val sudah punya calon suami. Mana berani aku mengganggunya."

"Oya? Siapa calonmu, Nak?"

Ekspresi ibu jelas menunjukkan bahwa beliau tidak tau menahu perihal lelaki yang dijodohkan dengan Valerie. Jangan-jangan Val dan calonnya menjalani hubungan LDR, atau lebih parah ... hubungan gelap! Ah tidak, tidak mungkin. Sudah kukatakan, Val itu lebih baik dari orang baik, jadi tidak mungkin dia melakukan hal semacam itu, tapi mengapa kejanggalan ini malah membuat perasaanku tambah tidak enak?

Valerie tersenyum, dengan malu-malu dia mencoba menjelaskan, "Dia orang Malang, Tante. Nantilah, kalau kami memang berjodoh, aku pasti akan memberitahu Tante. Sekarang belum saatnya."

Aku meraih tangannya, menggenggamnya kuat dan dengan spontan aku memaksanya untuk membuka identitas lelaki misterius itu. "Katakan padaku, Val. Kubantu kau mengecek bibit-bebet-bobotnya. Aku khawatir, dia tidak sepadan denganmu."

Spontanitas memang menjerumuskan, sekarang kedua perempuan itu menatapku curiga. "Mengapa kalian menatapku begitu? Memangnya aku tidak boleh khawatir? Val kan sudah seperti saudariku sendiri," jelasku membela diri sambil menatap mereka bergantian.

Raut wajah Val tambak berubah murung sedetik sebelum kembali terlihat tenang. "Ya sudah, aku hanya ingin mengecek apakah kau masih mengingatku." Valerie berdiri, mengucapkan terima kasih pada ibu atas sarapan sederhana yang disajikan barusan, kemudian berlalu dari ruang makan.

Ibu mencolekku yang masih ternganga menatap kepergian Val. "Apa kau hanya akan diam di sini? Kejar dia sana!"

Eh, benar juga!

"Val, tunggu!" Cepat juga dia berjalan, aku sampai setengah berlari untuk menyamakan langkahnya di halaman rumah. "Val, tung-."

Tumit langsing itu berputar menghadapku tiba-tiba dan maju selangkah demi selangkah dengan berondongan pertanyaan. "Aku tau, sejak kau tiba di sini, kau sudah bertemu Jaya, kemudian kau juga pergi dengan Susan beberapa kali. Lalu, kapan kau akan mencariku? Apa aku sudah tidak penting lagi? Apa kita bukan lagi sahabat baik seperti dulu?"

"Tidak, Val, bukan seperti itu. Oke, aku minta maaf, aku baru akan menemuimu besok, rencananya." Itu suatu kebohongan. Aku memang menghindarinya, untuk alasan yang aku sendiri belum tau apa.

Valerie memberenggut, betapa aku ingin menangkup wajahnya dan menarik pipinya ke samping agar bibirnya terlihat seperti tersenyum. Tapi aku belajar dari Linda, bahwa jangan main-main dengan perempuan yang sedang cemberut, karena melakukan itu dulu, aku mendapat cakaran Linda di wajah. Alih-alih melakukan hal bodoh, aku mencoba mengalihkan pertanyaan ke area lain yang lebih aman.

"Itu benar kan? Kau sudah punya calon yang tidak kau ceritakan padaku."

"Apa itu masalah? Apa kau juga akan menghindariku seperti Susan dan Jaya?" semburnya. Nah, kan sudah kubilang, perempuan yang cemberut itu sangat berbahaya.

Oh, tidak, sekarang mata Valerie terlihat berkaca-kaca. "Bukan begitu, Val. Kau belum tau mengenai-."

"Mengenai apa? Mengenai Susan yang menyukai Jaya? Atau mengenai Jaya yang menyukaiku?"

Astaga! Dia tau. Dengan segera aku menarik tangannya. "Ikut aku."

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang