SUNRISE ATAU SUNSET?

195 31 0
                                    

Hening.

"Oke, aku mau pulang sekarang." Valerie membereskan barang di meja dan memasukkan ke dalam tas kecilnya.

Eh, apa? Koq jadi begini? Seketika rasa panik melanda, jantungku berdegup kencang mendengar reaksinya terhadap pernyataan cintaku barusan. Tanpa menoleh, Val berjalan cepat melewatiku. Aku tidak ingin dia pergi, maka dengan nada setengah berteriak aku bertanya, "Apa aku ditolak?"

Rasa lega meliputi ketika pertanyaanku berhasil menghentikan langkahnya dan payung yang sudah terangkat itu tergeletak lagi di tempat semula. Meski takut, aku harus tau jawabannya. Tidak masalah jika Val menolakku, aku hanya tidak ingin dia menyingkirkanku dari hidupnya.

"Ya, aku menolakmu," jawab Valerie dari balik bahunya.

Titik-titik sinar muncul dalam pandanganku bagai pixel yang berjatuhan. Keseimbanganku hampir hilang jika saja tidak cepat-cepat bersandar pada tiang teras terdekat. Bunyi kursi yang jatuh karena terdorong berat badan membuat Val menoleh cepat dan menghampiriku.

"Terry, apa kau sakit?" Jemari ramping yang terasa dingin itu bergerak ke kening dan leherku, kemudian menangkup rahang yang belum sempat kucukur. "Anemia. Mari, kubantu kau duduk."

Lega. Kupikir aku kena serangan jantung karena ditolak Valerie. Duduk di bawah tatapan Val, kutenggelamkan wajah dalam tangan. Aku tidak menghentikannya ketika Val masuk ke dalam rumah dan kembali dengan segelas air hangat di tangannya.

"Kamu begadang lagi?" tanya Val menginterogasi. Suaranya sayup-sayup tertiup angin yang berembus menyertai turunnya hujan.

"Aku belum tidur."

"Sejak kapan? Apa kamu perlu obat tidur? Aku bisa membukakan resep untukmu."

"Sejak ... sejak kamu meninggalkanku dengan lelaki dalam Mercy." Kuembuskan napas berat sebelum melanjutkan, "Sementara aku cuma punya Veloz."

"Kamu itu becanda terus! Seriuslah."

"Aku serius, Val. Aku juga serius waktu mengatakan aku suka padamu," kataku lemah.

Kuangkat kepala dan menatapnya, biarlah kali ini dia melihat semua isi hati dan kepalaku, bahwa aku tidak berbohong. Mungkin kesadaranku sebentar lagi akan padam, karena titik pixel menyilaukan itu mulai banyak dan mengganggu wajah Val dalam jarak pandangan.

"Sebaiknya kita masuk dan bicara di dalam, angin terlalu kencang, kau bisa sakit nanti."

Val baru akan berdiri tapi aku menghentikannya. "Tidak—tidak, di sini saja. Aku tak mau ibu mendengarkan kita bicara. Aku malu."

Val kembali duduk. Aku tidak dapat menilai isi sorot mata yang menatapku saat ini. Apakah itu sorot mata kasihan, ataukah sorot mata yang menandakan rasa sedih? Tapi aku ingin dia percaya akan apa yang kurasakan terhadap dirinya saat ini, bahwa aku jatuh cinta. Aku benar-benar harus mengutarakan semua mengenai perasaanku padanya, panjang kali lebar kali tinggi seperti rumus volume isi hati.

"Val, tau gak, kalau bukan karena kamu, aku gak akan pulang ke Malang. Meskipun berat hati pada awalnya, ternyata pulang ke Malang tidak seburuk yang kubayangkan di awal. Maksudku, aku bertemu Jaya dan Susan, mungkin juga aku turut berjasa karena telah menjodohkan mereka.

"Selain itu, aku bertemu kamu. Lucunya, waktu kamu menjemputku di bandara, karena gak ngenalin, kupikir kamu itu jodohku. Ternyata bukan, kamu Valerie Lukman, sahabatku yang telah berubah dari ulat menjadi kupu-kupu yang cantik karena ulah kakakku. Ya, salahkan saja Kak Tia, mumpung orangnya sedang tidak di Indonesia." Aku terkekeh.

Val membuka mulutnya hendak bicara, tapi kuangkat tanganku untuk membungkam kata-katanya. "Dengarkan aku dulu, mungkin sebentar lagi aku akan pingsan." Itu benar, pixel itu semakin terang dan mengerubungi, seperti percikan kembang api dalam penglihatanku.

"Awalnya, aku berniat membantumu mencari si lelaki misterius, tapi tanpa sadar, malah aku sendiri yang jatuh hati padamu. Aku cemburu pada siapapun lelaki itu. Di pesta resepsi Linda, aku sudah berniat menyatakan perasaanku, tapi kau malah pergi dengan lelaki dalam Mercy. Itu sebabnya aku kembali ke Jakarta dan jujur, aku tidak berniat pulang lagi."

Apalagi yang mau kukatakan padanya ya? Kepalaku mulai terasa ringan.

"Aku sudah memutuskan menyerah, sampai kau meneleponku kemarin dan mengatakan bahwa aku adalah si lelaki misterius yang kautunggu selama ini. Akulah yang dijodohkan kakak denganmu.

"Aku tidak tau kemana harus berkeluh kesah tentangmu, jadi aku curhat pada Jaya. Kata-katanya membuatku memutuskan untuk kembali kemari, padahal aku gak berencana pulang, karena tiket musim liburan gini mahal banget. Dia bilang, 'tanyakan saja sendiri'."

Kurasakan tangannya menggenggam tanganku perlahan dan bertanya, "Apa yang ingin kautanyakan padaku?"

"Tunggu sebentar, aku belum selesai cerita, Val." Aku menggelengkan kepala untuk mengembalikan kesadaran, alih-alih gerakan itu membuat pandanganku berputar. Sangking ringannya, aku khawatir kepalaku sewaktu-waktu bisa terbang meninggalkan tubuh. 

"Val, aku tidak peduli apakah aku si lelaki misterius yang kautunggu atau bukan. Aku sungguh ingin mencoba menjadi kekasihmu, dan—."

Dan apa ya? Satu per satu aksara dalam otakku mulai terbang, sulit bagiku untuk menyusun kata-kata. "Dan aku tidak ingin hubungan kita rusak karena kebodohanku saat ini. Aku juga tidak mau kau menyingkirkanku dari hidupmu. Itu saja, Val, aku sudah selesai."

Oh, Tuhan. Aku bahkan tidak tau apa saja yang sudah kukatakan dari tadi. Mulutku seperti hilang kendali dan otakku terasa kebas. Rasanya lelah sekali. Dengan beralas lengan, kubaringkan kepala perlahan di atas meja dan memejamkan mata.

Tarikan napas yang dalam terdengar sebelum Val mulai bicara, "Terry, kau sudah punya orang yang spesial, bukan? Dengan begini, kau membuatku merasa bersalah."

"Hah?" Seakan ada yang menjambak rambutku, kepalaku terangkat tegak. "Siapa?"

"Kau bilang kau akan pergi ke pernikahan Linda dengan seorang gadis, kau ingat?"

"Susan maksudmu? Ya ampun, selama ini kau berpikir aku—, ah sudahlah. Gadis yang pergi denganku kemarin adalah Susan, dan tidak ada apa-apa antara Susan dan aku. Kebetulan, dia hanya butuh pasangan ke pesta, dan aku menawarkan diri." Aku tidak tau apakah Val percaya dengan penjelasanku atau tidak, tapi rasa lelah membuatku kembali merebahkan kepala di atas lengan.

Hujan masih turun di luar, tapi tidak lagi sederas tadi. Dengan mata terpejam, aku menikmati bunyi gemericik air yang jatuh ke tanah dan desiran angin yang membelai daun. Tangan Val dalam genggamanku terasa hangat dan menenangkan. Damai.

"Val ...," panggilku tanpa repot-repot membuka mata.

"Hm?"

"Kau belum menjawab WA-ku kemarin. Kau lebih suka sunrise atau sunset?"

Tawanya yang merdu melukiskan senyum di bibirku. "Aku suka saat hujan, Ter."

"Hmmm ... sudah kuduga. Seperti waktu itu, di depan Gereja Kayu Tangan."

"Seperti saat ini, Ter. Bersamamu."

Aku tidak mampu lagi membuka mata, namun bisa kubayangkan jelas wajahnya ketika mengatakan kalimat terakhirnya. Suaranya yang lembut membuai kesadaranku, mengantarku masuk dalam mimpi dengan senyum mengembang.

Tuhan, terima kasih.

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang