CURHAT SUSAN

197 41 0
                                    

 "Woi, kalau ngomong tuh diselesaikan. Jangan bikin penasaran," hardikku kesal setelah beberapa lama menunggu, ternyata Jaya tidak juga mengemukakan alasannya.

Lagi-lagi dia menghembuskan napas berat, kali ini tanpa kepulan asap. "Gak apa-apa, Ter. Gak penting."

"Gak penting gimana? Apa persahabatan kita sudah tidak sehat? Maksudku, aku dan Linda, kau dan Val, Susan dan ... dan ... entahlah. Katakan padaku ada apa, Jay? Mungkin aku bisa membantu," tawarku sambil menepuk lembut bahunya yang lunglai. Namun hingga jam makan siang selesai dan kami berpisah, Jaya tak kunjung mengemukakan alasannya untuk tidak menghubungi Susan.

***

Mungkin benar, aku seperti nenek-nenek rempong yang tidak bisa mendengar gosip barang secuil. Pertemuan dengan Jaya kemarin malah membuatku jadi penasaran, apalagi ketika dia menolak untuk menjawab dan malah menyarankan aku untuk menanyakan sendiri alsannya ke Susan. Jadi, di sinilah aku berada sekarang, di depan rumah makan milik keluarga Susan di Jl. KH. Zainul Arifin.

"Ealah, Terry! Aku tau kau pasti pulang," seru Susan. Tubuh langsingnya segera beranjak dari belakang meja kasir menuju tempatku berdiri. Senyum Susan merekah indah dan matanya yang berbinar menatapku membuatku terharu, rupanya aku dirindukan.

Kami bercengkrama sejenak, tapi agak sulit. Pada jam makan siang seperti ini, lalu lintas tamu yang ingin membayar dan memesan menu cukup padat, dan Susan tidak dapat meninggalkan tugasnya sebagai kasir ketika rumah makan sedang ramai. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu hingga rumah makan itu agak lengang, barulah aku mendekati Susan dan mengajaknya makan siang bersama.

"Nasi rawon pisah, empal, tempe dan tahu goreng. Minumnya teh tawar hangat saja," pesanku pada pelayan Susan.

"Buatkan dua ya, Wi," tambah Susan sebelum gadis pelayan itu beranjak dari sisi meja kami, menuju dapur. Tak lama kemudian pelayan yang lain keluar dengan membawa nampan berisikan pesanan kami.

Hmmm ... Lezat seperti dulu, desahku menikmati suapan demi suapan.

"Bagaimana rasane, Ter? Enak?" selanya di tengah suapan.

"Masakan ibumu memang luar biasa," pujiku sambil mengunyah empal goreng yang empuk dan meninggalkan rasa manis rempah di lidah.

Susan terkekeh. "Ibuku sudah pensiun, Ter. Ini masakanku."

Keterangannya menghentikan suapan terakhirku di udara. "Wow!" pujiku tulus. Aku melihat rona merah muda muncul di pipinya. "Siapapun yang akan menjadi suamimu nanti pasti sangat beruntung."

Kalimat barusan adalah sebuah pujian yang harusnya membuat gadis itu melambung tinggi di udara, tapi reaksi Susan malah sebaliknya. Suapan terakhirnya menganggur di ujung piring, tahu dan tempe tak tersentuh, dia berhenti makan dan menatapku sendu. "Sayangnya, Jaya tidak berpikir begitu."

"Kau menyukai Jaya?" tanyaku yang sebenarnya tidak perlu dijawab, karena tatapan mata Susan sudah menceritakan semua perasaannya pada Jaya. "Ah, jadi itu sebabnya Jaya tidak menanyakan perihal Valerie padamu, karena dia merasa tidak enak hati."

"Menanyakan apa mengenai Val? Apakah Jaya suka padanya?"

O-ow! Sekarang aku merasa seperti nenek-nenek besar mulut yang sedang bergosip di ujung gang. Mata Susan berkaca-kaca, tangannya menarik beberapa lembar tisu di meja untuk menutupi wajah. Sungguh, aku tidak tau harus berkata apa, nafsu makan pun terasa lenyap, untung saja suasana rumah makan sudah sepi dari pengunjung.

"San, kau tidak apa-apa?" Dengan canggung, aku menggenggam tangannya erat, menunggu hingga luapan emosinya mereda.

"Aku sudah menduganya," ujar Susan, masih sambil terisak. "Semenjak Val berubah menjadi cantik, Jaya juga berubah."

Sepala-pala mandi biarlah basah, kata peribahasa. Maka, kubulatkan tekad untuk bertanya, "Apakah kau tau apa yang menyebabkan Val berubah?"

"Val berubah kurang lebih setahun yang lalu," jelas Susan, tangannya bergerak menyeka mata dan hidungnya. "Dia sudah dijodohkan dengan seseorang. Jaya itu bodoh, jika dia tetap mengejar Val."

"Dijodohkan?" Rasanya jantungku barusan melompat di tempatnya, ada sesuatu yang tidak benar. "Dengan siapa?" tanyaku penasaran.

"Kalau aku tau, aku akan meminta lelaki itu untuk cepat-cepat menikahinya, agar Jaya berhenti berharap. Kau tau Valerie, dia bukan orang yang benar-benar terbuka." Susan mereguk tehnya, kemudian melanjutkan, "Waktu itu dia datang padaku dengan wajah berseri, belum pernah aku melihatnya seperti itu. Dua minggu berselang, sedikit demi sedikit dia berubah--lebih feminim, lebih cantik."

Kutarik napas berat dan bertanya-tanya, apakah ibu tau mengenai ini? Maksudku, Kota Malang adalah kota kecil dengan dinding tipis, tidak mungkin rasanya jika ibu tidak tau. Lagipula, empat orang sahabatku ini sudah seperti anaknya. Dan jika ibu tau, mengapa dia tidak mengatakannya padaku? Apakah karena berita ini sudah lama, sehingga ibu lupa?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di otak, sembari mulutku mengunyah tahu dan tempe goreng yang masih tersisa. 

Mengapa Val mau saja dijodohkan?  Dia tidak mungkin seputus asa itu untuk mendapatkan suami bukan? Maksudku,  bagaimana jika lelaki itu brengsek? Bagaimana jika Val tertipu dan dia tidak bahagia nanti? Bagaimana jika nanti lelaki itu tidak mencintainya?

Jika boleh jujur, aku rela Jaya menikahi Val. Dengan begitu, aku tidak akan sekhawatir ini. Nah-nah, sekarang aku mulai terdengar seperti neneknya Valerie yang sudah lama meninggal. Hiii ....

"Aku penasaran dengan calon suami Val. Apakah dia menceritakan sesuatu mengenai identitas lelaki itu? Maksudku, kita bisa membantu untuk mengecek latar belakangnya, kalau-kalau lelaki ini pembunuh berantai."

Oke, kurasa asumsiku terlalu berlebihan, tapi aku sangat khawatir. Bagaimana tidak? Masalahnya, tidak ada satu orang pun dari kami yang tau mengenai lelaki itu.

"Sudahlah, Ter, tidak perlu kaupikirkan. Dari wajah Val, kau akan tau dia sangat mencintai siapapun lelaki itu hingga bersedia bermetamorfosis menjadi seperti sekarang." Kata-kata Susan begitu lembut di telingaku. Dalam hati, aku ingin memaki Jaya yang sudah membuatnya patah hati. "Oh ya, Ter, dengan siapa kau akan pergi ke pernikahan Linda?"

Aku mengejap, mengembalikan perhatian ke gadis di depan. "Kau sudah berpasangan?" tanyaku yang dijawab Susan dengan gelengan kepala. "Bagaimana jika kita pergi berdua?"

KEPOMPONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang