1.7 ❀ b a n d a r a

564 137 9
                                    

Tibalah saat yang membingungkan tentang apa yang tepatnya harus aku rasa.

Senang? Karena aku akan menuju tempat untuk mengejar masa depanku.

Atau justru sedih? Karena harus berjauhan dengan kedua Orangtua serta Adikku dan tentunya... Renjun. Orang yang turut andil menghiasi masa SMA-ku.

Ini adalah hari keberangkatanku.

Kini kami semua sedang berkumpul di bandara. Kedatangan kami cukup awal sehingga masih menyisakan waktu untuk berpamitan.

"Tadi nyampenya udah lama, Nak?" jelas pertanyaan itu disampaikan Mama kepada Renjun. Mengingat saat aku dan keluargaku sampai di bandara, Renjun sudah menunggu lebih dulu.

Kulihat Renjun menggeleng, "ngga kok Bu, sekitar tiga puluh menitan."

Aku lihat Mama tersenyum simpul kepada Renjun. Pria itu membalasnya.

"Dek beliin sarapan gih," itu perintah Mama dan tentunya ditujukan kepada Adikku.

Aku inisiatif berdiri, "Kakak aja, Ma."

Aku sudah memesan roti yang biasa Mama beli jika di bandara, dan ada Renjun di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sudah memesan roti yang biasa Mama beli jika di bandara, dan ada Renjun di sini. Sepertinya ia mengerti bahwa alasanku menawarkan diri adalah agar memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya. Aku masih merasa aneh untuk membicarakan hal-hal mengenai kami berdua di depan Mama dan Papa walau mereka sudah saling kenal. Kalau di depan Adikku sih, terserah saja.

"Kamu mau pesan apa, Jun?" tanyaku.

"Aku udah sarapan tadi." tolak Renjun. Aku mengangguk mengerti.

Kami kemudian duduk di dua kursi yang berhadapan dan dibatasi oleh sebuah meja bundar setinggi lutut orang dewasa.

"Shu?" panggil Renjun.

"Ehm, iya?"

Detik ini juga aku sadar jika mata Renjun sangat indah untuk dipandang.

Rasanya aku tak rela jika harus tak melihatnya untuk waktu yang lama.

"Kamu kelihatan gelisah gitu, Shu. Ada apa?"

Aku sedikit kaget. Bagaimana bisa Renjun mengetahui gelagatku? Apa aku terlalu jelas menampakkannya? Padahal aku sudah mati-matian menyembunyikan itu.

"Hah? Engga kok," kilahku.

Kenapa pula aku berbohong disaat Renjun sudah sangat paham dengan tingkahku.

Pria di depanku tersenyum kecil.

"Hmm... Jun," panggilku samar.

"Iya, Shu?" jawabnya cepat.

Baiklah aku tidak bisa ragu lagi. Mau sampai kapan aku menunda untuk mengatakannya?

Sedikit menunduk, kemudian aku mendongak untuk menatap tepat pada mata Renjun lagi. "Kita... gimana, Jun?"

Kedua alis Renjun naik bersamaan. Kelihatannya bingung dengan ucapanku. "Apanya, Shu?"

"Kita... masih mau gini?" tak tahu mengapa tapi kepalaku otomatis menunduk saat bertanya.

Aku sadar pertanyaanku sedikit ambigu tapi untungnya Renjun mampu menangkap maksudku. "Kamu ngga lagi bilang mau udahan, kan?"

"Engga gitu kok," jawabku disertai gelengan kecil.

"Kamu mikirin ini daritadi?" tanya Renjun. Aku mengangguk pelan. Sebenarnya ini sudah merisaukan sejak beberapa hari sebelumnya.

Aku lihat Renjun mengangguk mengerti. "Kita tetap sama-sama kok. Kamu sama aku pasti ga berubah. Cuma nanti jarak kita yang makin jauh."

Aku melihat priaku. Ia terlihat seperti sudah benar-benar siap dengan hal ini.

Hening beberapa saat hingga panggilan datang untukku dan aku mengambil pesanan roti yang telah siap.

Semoga saja aku dan Renjun kuat menjalani hubungan jarak jauh yang sangat nyata di depan mata.

Seperti perkataan Renjun, aku dan dia tidak berubah. Tidak boleh berubah.

-tbc.

-tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Penguin; renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang