1. Pendahuluan
Menulis ini tidak ada sedikitpun niat untuk menyudutkan pihak manapun. Aku hanya mencoba mengingat sedikit demi sedikit memori dari masa kecilku hingga aku sebesar sekarang ini. Tentunya dengan izin dari para pemeran yang aku ceritakan meskipun ada peran yang udah meninggal lebih dahulu, seperti cerita Bi Ratna, dia udah meninggal ketika aku masih duduk di bangku TK. Dan kemarin sebelum mencatat cerita ini, aku jiarah dulu sekalian minta izin, aku yakin pasti Bi Ratna bakalan bilang "Ya sok geulis, kamu teh pan ku bibi tos dianggap anak" (ya boleh cantik, kamu udah bibi anggap anak sendiri).
Bi Ratna memang keturunan sunda kental, dari kecil sampai meninggal, bi Ratna tinggal di Bandung tak pernah pergi kemanapun. Hari-harinya dihabiskan untuk mengasuhku, meski aku tak yakin. Bagiku bi Ratna lebih dari seorang tetangga biasa, aku suka dipeluk bi Ratna apalagi sambil menyuapi aku makan. Sampai tetangga kira aku ini anaknya bi Ratna, dan untungnya mama gak merasa tersaingi jadinya aman-aman aja kalau aku berlama-lama di rumah bi Ratna.
Merasa terpukul saat bi Ratna meninggalkanku untuk selama-lamanya. Al-Fatihah buat bi Ratna, semoga Allah memberikan tempat terbaik, aamiin.
Saat menulis ini, aku tentunya ditemani berbagai macam hal di sampingku, dimulai dari botol teh pucuk dan kwaci biru ukuran besar yang aku beli di toko swalayan di daerah Titimplik, depan RM Padang langganan aku dan Mang Dadang. Juga ditemani lagu "Aku masih seperti yang dulu" covernya mas Felix, duh suaranya itu loh cowo banget bikin aku gak pernah berpaling sehari pun dari coverannya. Tapi gatau kalau udah bosen, semoga ngga deh ya, takut mas Felix nya marah ntar, berabe loh yang ada. Meskipun aku gak terkenal kek mas Felix, tapi mas Felix terkenal di hidup aku. Cukup kurang adil ya.
Sebetulnya ini adalah novel kesekian yang aku buat, untuk novel yang lain ada yang aku masukin Wattpad ada yang hanya aku ikut sertakan lomba saja dan ada yang buat aku baca sendiri, di antaranya:
1. Hujan Adalah Air Mataku
2. Dengannya Hatiku Lumpuh Sempurna
3. September Kemarin di Musim Penghujan
4. Hari Ini Mendung dan Aku Masih Sendiri
5. 20 November Kisah yang tak Lama
6. Aksara Lara
7. Stay With Me
8. Fatamorgana
9. Jhunsaku
10. Hujan Bulan September
11. Mei Septa
Jujur saja, pada saat menulis itu terkadang rasa kangen, rasa sakit, bahkan rasa marah sering muncul tiba-tiba. Mungkin karena aku harus mengingat kembali hal-hal yang dengan bersikeras harus aku lupakan meski hanya sebagian. Ya mungkin itulah keajaiban dari sebuah kenangan, menghasilkan hal-hal yang tak terduga dan tentunya bisa membuat sedikit agak speechless. Terlebih harus berhadapan langsung dengan para narasumber yang tak sedikit kalau mereka cukup berpengaruh di kehidupan aku saat itu.
Sama sekali tak ku duga kalau aku akan menceritakan kisah mereka, terlebih mereka mempunyai tempatnya masing-masing di kehidupan aku. Tapi setelah mereka setuju, ku pikir mungkin yang dulu terjadi adalah hal normal yang harus bisa aku simpan di masanya, yaitu masa lalu.
Pada tahun 2016 awal aku mulai menyukai menulis, dan berkelanjutan hingga sekarang. Aku mendatangi rumahnya Adi, nama panggilannya. Seseorang yang dulu sangat berpengaruh di hidup aku. Saat mendatangi rumahnya gemeteran sudah merasuki semua bagian di tubuhku. Padahal aku kesana itu hanya untuk meminta izin kalau kisahnya mau aku tulis, dan masih seperti awal ketemu, Adi itu tipikal orang yang humoris.
"Aku ambil materai 6000 dulu"
"Untuk apa?"
"Biar lebih sah aja kalau aku benar-benar mengizinkan kamu untuk menulis tentang aku"
Sekilas kiranya bagaimana aku bisa mendapatkan salah satu izin dari narasumber yang mau aku tulis ceritanya. Mudah-mudahan setelah ini semua pemeran bisa terus bersilaturahmi dengan aku, sekedar minum kopi pun bolehlah meskipun aku lebih senang boba.
YOU ARE READING
Mei Septa
Non-Fictionmenceritakan tentang perjalanan hidup seorang wanita yang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, menganggap yang terjadi adalah hal normal meski terbanting-banting