1. Pembuka Ingatan
Awalnya, aku ingin menulis novel yang lain, tidak menceritakan kehidupan siapapun. Hanya cerita fiksi yang memang tak pernah menjadi kenyataan. Hingga suatu peristiwa yang tak bisa aku jelaskan terjadi, dan akhirnya proses menulis novel ini pun tak dapat aku jalankan sesuai rencana semula. Awalnya aku mau mengangkat novel tentang persahabatan, tidak tentang patah hati seperti novel-novelku yang lainnya. Namun saat peristiwa yang menimpa itu, aku dapat mengambil kesimpulan kalau apa yang akan aku ceritakan nanti itu akan mencakup semuanya, tumbuh, jatuh cinta, patah hati, persahabatan dan lalu ujungnya berdamai dengan diri sendiri. Apapun yang akan terjadi memang bisa datang kapanpun dan tak diduga-duga. Akhirnya aku memilih menulis apa saja yang dapat melegakanku, aku membiarkan diriku menikmati setiap proses yang terjadi, aku bahkan tak memikirkan akan seperti apa novel ini ujungnya. Bagiku, saat menulis ini adalah terapi menenangkan diri sendiri. Mengingat semua hal yang pernah terjadi dan menerapkan beberapa resolusi untuk dikemudian hari, penenang untuk seseorang yang pernah terjatuh dalam hidupnya tetapi dipaksa untuk tetap menjalaninya.
Pada suatu titik aku pernah meminta berhenti untuk hal apapun, bahkan berniat untuk mengamalkannya. Apalah artinya hidup yang aku perjuangkan sepenuh hati ini kalau hanya membalas separuh hati. Apalah gunanya harapan yang kemudian di patahkan oleh orang-orang terdekatku. Namun, hidup selalu memiliki jalan tempuhnya masing-masing, semesta selalu selangkah lebih paham tentang bagaimana agar aku dapat bertahan lalu mensyukuri apapun yang terjadi, semua hanya butuh waktu. Tidak setiap hal yang menimpa hidup kita adalah hal yang mengerikan, beberapa ada yang datang mengajarkan luka, dan beberapa lainnya hanya akan menjadi cerita. Tergantung kemana tujuan yang ingin kita pilih.
Mei Septa, bukan novel untuk menceritakan kesedihan seseorang. Ini adalah perenungan-perenungan perihal seseorang yang hampir menghilangkan semua yang ada dalam hidupnya, termasuk nyawanya sendiri dan lalu bangkit untuk memulai lagi dari awal. Seseorang yang pikirannya selalu melahirkan benci lalu berubah menjadi lebih memaafkan untuk segala hal, seseorang yang akhirnya disadari kalau hidup akan baik-baik saja. Bagaimana pun sakitnya sebuah perjalanan hidup, kamu tetap harus bangkit dan memperjuangkan harapan. Kamu tidak boleh menyerah hanya karena hidupmu sudah terlanjur hancur dan berantakan. Sesakit apapun alurnya, kamu harus tetap menerima dirimu sendiri.
Pada catatan ini aku ingin menyampaikan pesan untuk kalian agar membaca novel ini dengan hati. Dan mohon maaf jika beberapa bagian di novel ini aku tulis dengan luapan emosi. Aku hanya manusia, bisa terluka seperti kamu juga. Hidup adalah perjalanan panjang, langkah-langkah yang kamu ayunkan akan menuntunmu menemukan kembali jalan pulang, percayalah.
Bandung, November 2019
Leni Susiyanti Afifah
YOU ARE READING
Mei Septa
Non-Fictionmenceritakan tentang perjalanan hidup seorang wanita yang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, menganggap yang terjadi adalah hal normal meski terbanting-banting