1. Masa Kelamku
Kukira badai telah berlalu semenjak Erik ada di hidupku, namun siapa sangka hal yang aku jadikan tempat berkeluh kesah ternyata dia adalah badainya. Jauh sebelum kenal Erik pun masalah memang selalu datang silih berganti, setiap hari selalu menjadi hari terburuk dan ditinggalkan Erik menjadi semakin kacau. Ku pikir dia tak akan melakukan hal yang sama seperti laki-laki lain, ternyata sama saja.
Masalah tak datang dari hal itu saja, keluarga, teman-teman dan kehidupanku juga menjadi masalah yang datang secara bertubi-tubi. Hal itu membuat hidupku hancur, aku tak mempunyai teman bicara selain menatap diriku sendiri yang menyedihkan di cermin. Aku mulai menikmati setiap alur penderitaan di hidupku. Ayah dan mama, ku pikir mereka kecewa dengan apa yang aku lakukan, dan aku cukup terpukul atas hal itu. Kejadian beberapa tahun silam pun akan terjadi lagi tadinya, untung ayah menghentikan apa yang akan aku lakukan, hal itu adalah membunuh diriku sendiri.
Saat aku berencana seperti itu, ada banyak hal yang menjadi pendorong untuk kasus itu:
Erik Keluargaku Kuliahku Teman-temanku Pekerjaannku Keuanganku Kehidupan yang tak memihak
Ya, itulah penyebab aku ingin mengakhiri hidupku. Aku cukup bodoh dalam hal bersyukur, dan cukup pintar untuk menyakiti diriku sendiri. Kehidupan selalu tak menyenangkan pikirku, hari demi hari hanya masalah yang hadir. Benar-benar seperti orang yang ingin hidup tapi takut mati, seperti orang yang menginginkan hujan tapi takut kebanjiran dan orang yang ingin tumbuh tapi tak bisa melangkah maju. Aku tak tau apa yang menjadikanku seperti itu, yang jelas tertekan dalam semua hal menjadi pemicu aku seperti ini.
Menjalani masa-masa kelam seperti itu memanglah sangat memprihatinkan. Tak bisa membedakan yang baik dan yang buruk, tak bisa membedakan mana yang harus aku pertimbangkan dan aku jalankan. Ayah cukup berani karena telah menyelamatkanku di kasus aku yang mau menghabisi hidupku sendiri, ayah memelukku dan berkata "Ayah sayang kamu". Kalian tau aku seperti tak peduli akan kalimat itu, aku seperti orang yang digerakkan dan dibangkitkan lalu disingkirkan, hal seperti itu terjadi beberapa kali dalam pikiranku.
Membenci diriku sendiri tentu saja menduduki posisi teratas, aku membenci semua yang ada di hidupku termasuk teman-temanku sendiri yakni, Kinan, Zeel dan Dara. Mereka cukup membuat hidupku berantakan, mereka mengganggu privasiku, kehidupanku di acak-acak tanpa mereka mengetahui apa penyebab aku seperti ini. Mereka cukup merasa bahwa yang mereka lakukan adalah benar dan apa yang aku lakukan adalah kesalahan besar. Aku mulai membenci mereka bahkan sampai sekarang, aku berusaha tak menceritakan apapun lagi kepada mereka terutama hidupku sendiri, aku cukup terpukul dengan kejadian mereka yang memperlakukanku seperti itu. Mereka seperti memasuki kendang anjing yang sedang marah, mungkin suatu saat keburukan mereka semua akan aku bongkar. Tunggu saja, aku bisa lebih jahat dari kalian.
Saat kita keluar dari kotak kasur nyaman kita, kita bukanlah siapa-siapa lagi. Aku selalu berdoa agar tak ada lagi orang yang mengalami hal yang sama sepertiku. Untuk mama, ayah, adik-adikku dan sahabat-sahabatku, semoga kalian selalu diberikan kebahagiaan yang melimpah. Semoga Tuhan selalu bersama kalian dalam kebaikan, semoga kalian tak menjadi pecundang sepertiku. Sangat sulit hidup sepertiku, percayalah, bahkan jauh dari kata menyenangkan. Hari-hari kalian hanya akan dirundung masalah tanpa ada hentinya dan kalian tak akan bisa menikmati hidup yang seharusnya. Mengambil keputusan seperti ini memang bukanlah inginku tapi takdir selalu mendorongku untuk mengikutinya, aku terlalu bodoh dalam hal mensyukuri nikmat bahkan sampai tak tau jalan pulang.
Aku harap, suatu saat nanti aku benar-benar bisa berubah dalam hal apapun, lebih menjadi seorang anak penurut dan mampu membanggakan ayah dan mama. Aku sudah tak mau lagi untuk berjalan dalam kesendirian, aku memang menyukai sepi tapi aku takut akan kesepian. Aku hanya berpikir agar dunia mengetahuiku sedang bahagia saja namun aku selalu menghancurkan duniaku. Kata Dedy Mizwar, "Bangkit itu susah" dan memang itu sangat-sangat susah. Susah melihat orang lain susah dan senang melihat orang lain senang. Bangkit itu seperti ketakutan, takut dalam segala hal. Dan bangkit itu seperti tidak ada bagiku. Sekarang aku mulai membenahi diriku sendiri, memulai dari titik nol untuk menjadikanku tampak lebih baik lagi. Apalagi semenjak dapat nasihat dari Rama sahabatku, nanti akan aku ceritakan sedikit tentang dia. Ya dia cukup berpengaruh untuk kelangsungan hidupku agar selalu baik-baik saja.
Seperti halnya sebuah makalah, akan selalu ada latar belakang dan rumusan masalah, begitu pula hidup, aku hanya cukup menjadi versi terbaik untuk sekarang dan menjalani hidupku dengan normal dan penuh kabahagiaan. Mengusili Erik menjadi beberapa cara agar hidupku selalu baik-baik saja, aku senang membuat dia pusing dengan semua jawabanku saat diajak bicara. Untungnya Erik tak pernah menjauhiku, namun jika dia benar-benar menjauhiku, tamatlah sudah riwayatku.
YOU ARE READING
Mei Septa
Non-Fictionmenceritakan tentang perjalanan hidup seorang wanita yang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, menganggap yang terjadi adalah hal normal meski terbanting-banting