1. Jadi Guru
Tak pernah terpikir dalam hidupku kalau aku akan menjadi seorang guru. Ramalan bu Nenden guru SMA ku terkabul. September 2017 ketika aku masih semester dua, ada seorang kepala sekolah mendatangiku.
"Assalamualaikum, Mei?"
"Waalaikumsalam, ya Allah bapak, kemana aja, Pak? Bagaimana kabar keluarga di rumah?"
"Alhamdulillah baik, kuliah, Mei?"
"Iya, Pak. Baru semester dua hehe"
"Kebetulan, mau gak ngajar di sekolahan bapak? Lagi butuh guru untuk ngajar anak kelas tiga SD"
Awalnya aku tolak karena berat, secara dari mental saja aku belum siap terlebih belum ada pengalaman sebelumnya ditambah ngajarin anak kelas tiga SD, oh my god matilah aku. Namun karena aku merasa bosan, beberapa hari setelah ajakan itu aku iya-kan, tentunya dengan mikir panjang dan matang-matang. Apalagi aku kenal betul dengan keluarga kepsek ku itu, aku gamau ngecewain siapapun.
Menjadi seorang guru tidaklah seburuk yang dipikirkan, aku berani berbicara seperti itu karena sudah mengalaminya. Bagiku menjadi seorang guru tak bisa disebut sebagai sebuah pekerjaan, berbicara gaji sungguh tak akan cukup bahkan sekedar membeli skincare saja jauh dari kata terpenuhi, ini hanyalah masalah jasa, dituntut memberikan pelajaran terbaik untuk peserta didik dan menjadikan mereka jauh lebih berguna di banding aku. Sejujurnya, ada hal yang membuat aku selalu menelan ludah ketika ditanya soal kegiataan ku sehari-hari, pernah aku ketemu teman SMP ku yang menanyakan kegiatan sehari-hariku.
"Kegiatan apa sekarang?"
"Ngajarin anak-anak"
"Gila gila gilaaaaa, jadi guru lu? Kok bisa?"
"Gatau, nyasar kali gua"
"Tapi lu hebat, pekerjaan yang mulia. Jadi minder gua"Nah kalimat itulah yang selalu bikin aku nelen ludah sendiri, kita sebagai guru hanya mempunyai derajat dan pangkat, padahal kehidupannya jauh dari kata sempurna. Tapi bersyukur, seenggaknya sedikit menaikan derajat tidak terus-menerus dipanggil sebagai si pembuat onar.
Bertahun-tahun di dunia Pendidikan, pahit manis sudah di rasakan, bagaimana payahnya menunggu bos yang tak cair-cair dan gaji yang pas-pasan. Menginjak semester empat aku ada tawaran untuk ngajar di tingat atas (SMA) dan hanya bertahan beberapa minggu saja, alasan utama aku keluar adalah anak muridnya itu sendiri, hari pertama kerja sudah nampak kacau.
"Bu nomornya berapa, instagramnya apa, bagi dong bu"
"Bu istirahat aku traktir ya"
"Bu statusnya single gak, kalau single boleh dong aku daftar"
"Bu pernah nyoba pacaran sama brondong gak? Kalau mau nyoba bareng aku aja bu"
Kalimat seperti itu hampir setiap hari terdengar, beda kelas beda cara dan itu membuat aku malu, terlebih ketika dikantor para guru sibuk membicarakan hal itu, tentu saja aku merasa gak enak dengan hal seperti itu sehingga aku memilih mengundurkan diri dari pekerjaan itu, semoga anak muridnya nyesel.
Di semester empat juga aku ada tawaran dari beberapa orang tua murid untuk mengajari les privat anaknya yang kurang dalam proses pembelajaran, hanya jenjang SD tapi aku lebih menguasai, secara SD kan hampir semua bisa dikerjakan. Menginjak semester lima, aku mengajar di SMP dan sama, tak bertahan lama. Alasannya karena jarak yang terlalu jauh.
Menjadi seorang guru adalah hal yang mampu sedikit bisa menghilangkan jenuhku apalagi saat sedang tertekan dengan situasi dalam hidup aku. Melihat anak-anak tertawa rasanya menyejukkan, mampu menghipnotis pikiran burukku menjadi pikiran positif yang akan baik-baik saja. Btw, sampai sekarang aku masih menjadi seorang guru. Mungkin sesudah wisuda aku bakalan ninggalin itu semua, aku ada rencana melanjutkan pendidikanku ke jenjang S2 di Yogyakarta, semua aku lakukan demi membahagiakan keluargaku, membuat harmonis keluargaku dan menjadikan mereka dengan aku selalu baik-baik saja, jujur saja aku selalu tak pernah baik dengan keluargaku. Aku selalu merasa asing saat bersama mereka, makan sendiri dan apa-apa sendiri. Sering terbesit di pikiranku "Aku ini anak mereka atau bukan sih?" kadang aku selalu merasa terharu melihat keluarga orang lain yang harmonis, aku tak pernah menyangka mama dan ayah yang dulu sangat dekat dengan aku kini menjadi sejauh langit dan bumi.
YOU ARE READING
Mei Septa
Non-Fictionmenceritakan tentang perjalanan hidup seorang wanita yang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, menganggap yang terjadi adalah hal normal meski terbanting-banting