1. Aku
Langsung saja, namaku Mei Septa, berjenis kelamin perempuan yang dulu sempat ingin menjadi laki-laki hanya demi ingin merasakan bagaimana rasanya kencing berdiri sambil menggambar perahu dengan cairan kencing itu. Lahir dengan selamat, di adzanin ayah tapi gak ikut solat duha karena belum paham bagaimana caranya solat duha. Lagian saat aku lahir itu terjadi di siang hari. Pukul setengah dua siang tepatnya. Oh iya aku lahir di Bandung, yang kata orang disebut Paris Van Java dan Parahyangan. Katanya di Bandung itu banyak yang jual Borondong, tapi jujur aja sih sampai sekarang aku belum pernah rasain gimana rasanya.
Semasa kecil, aku tak pernah betah lama-lama berada di rumah, aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah bi Ratna. Dimasakin nasi goreng, didongengin cerita-cerita rakyat, dan makan pudding bersama-sama. Berdua bersama bi Ratna adalah hal paling mengasyikan di hidupku.
Anak-anak bi Ratna sudah menikah semua. Umur bi Ratna kisaran 65-70 namun tetap sehat walafiat. Bi Ratna hidup sendiri di rumahnya, anak-anaknya ikut suami mereka masing-masing. Bi Ratna itu baik, tapi sayang belum aku masuk SD bi Ratna sudah di ambil duluan sama Allah. Dan akhirnya aku gak ada teman bermain, apalagi aku yang memang gak kenal sama tetangga bahkan yang rumahnya dekat sekalipun. Aku ciptakan puisi untuk bi Ratna.
Engkau berangkat menjauh dari kasih matahari yang pernah ada
Dari gairah kebersamaan yang tiada henti
Engkau pergi menjauh menuju masa depan yang indah
Beribu puisi terurai di hatiku tanpa nyanyian
Sedikit igauanmu masih tersisa di hatiku
Pahami dan jagalah setiap kenangan yang bertahun menjadi milik kita
Karena dalam setiap jaring pikir di rasaku kau akan selalu ada
Di langit merah jambu pun kan selalu memekarkan bayangan-bayanganmu
Kenangan demi kenangan akan selalu dikenang
Meski kau sudah tiada
Setelah kepergian bi Ratna, mama sering ajak aku kerumah ceu Ecin, di sana aku bertemu teh Mimit, teh Ayu dan teh Cici yang jadi sahabat aku selepas kepergian bi Ratna. Aku Bersama mereka sering menyanyikan lagu bintang kecil dan main masak-masak. Bersama mereka pula aku belajar bermain barbie, dan tarian jaipong.
Saat kecil aku memang suka tarian jaipong dan sinden. Pernah suatu ketika aku ikut pentas seni 17 Agustus dan menampilkan tarian jaipongku bersama teh Mimit, teh Cici, teh Ayu dan Dea tetanggaku. Masa kecil adalah hal yang paling aku sukai dibanding masa-masa yang lainnya, apalagi masa dimana bi Ratna masih ada. Di sana aku memahami bahwa satu-satunya hal yang paling berharga yang tak bisa kembali lagi adalah waktu. Sehingga aku lebih menikmati setiap alur jalan hidupku kala itu. Memanjat pohon, main boneka, dan bermain petak umpet.
Waktu TK aku sempet jatuh karena lantai licin dan jidatku sampai sekarang masih berbekas karena jatuhnya tepat di batu tajam dan runcing. Aku gabisa menjelaskan secara detail bagaimana rasa sakitnya, yang aku tau aku cuman menangis lalu ditolongin oleh Ceu Ecin tetangga aku yang kebetulan anaknya sekelas dengan aku.
Kata ceu Ecin, aku nanti bakal jadi cinderella karena insiden terjatuh itu, dari sana aku percaya sehingga cukup bisa membuat aku berhenti untuk menangis. Malamnya aku tanya ke mama.
"Iya nanti abis itu datang pangeran"
"Tapikan Ma, aku gapunya sepatu kaca"
"Nanti ayah belikan, tapi jangan dari kaca nanti kaki kamu sakit"
"Kan ada pangeran yang nolongin aku"
"Iya pangerannya si Ilham anak ceu Ezi, mau emang adek?"
Ilham itu laki-laki paling menyebalkan untuk anak seusia TK. Dia suka masuk kedalam rok anak yang lain kecuali rok aku. Tentu saja, aku dari kecil terlihat tomboy bahkan pernah ke TK menggunakan celana milik abang.
Masuk SD aku sudah tau yang namanya jatuh cinta, terlalu dini memang, tapi hal itu terjadi secara begitu saja. Aku menyukai teman sekelasku, Galang namanya. Orangnya putih, bersih gak kayak si Ilham yang ingusan sampai kelas lima SD.
Menginjak kelas lima SD pula aku harus pindah rumah ke Karawang, di Talagasari tepatnya. Komplek-komplek bergengsi di era 2000-an. Disana juga aku berpindah sekolah, gajauh dari komplek rumah, namanya SDN Cilengkrang.
Lulus SD, gatau kenapa tiba-tiba aku ikut-ikutan naik truk milik pak Ade, katanya kita rayakan dengan teriak-teriak di jalan. Dan itu satu-satunya hal yang bikin aku lupa segalanya. Terlebih aku bisa berduaan dengan Rizal, temen sekelas aku yang aku taksir pas aku pindah kesana. Dan ya, turun dari truk dia bilang kalau dia sayang aku. Menggelitik memang kalau di ingat, tapi sebab inilah semua rasa sakit yang aku alami sampai sekarang adalah karena cinta monyet antara aku dan Rizal.
Hidup sudah cukup berkembang, menginjak SMP aku dipertemukan lagi dengan sesosok laki-laki yang menurutku jauh lebih dewasa di banding Rizal. Di sana aku putusin Rizal, ku pikir aku terlalu fuckgirl di usia sebiji jagung kek gitu. Adi namanya, aku menyukai wibawanya sebagai kakak senior sekaligus ketua OSIS saat itu. Beberapa minggu ketemu bulan aku berusaha mendekatinya dan membuahkan hasil, ternyata dia suka kepadaku juga. Akhirnya, aku pun menjalin yang namanya pacaran dengan Adi itu.
Menginjak kelas delapan, Adi lulus. Dan dia akan pindahan ke Kalimantan ikut dengan kedua orang tuanya. Tentu saja aku sedih, apalagi di zaman dulu belum ada videocall. Tak lama dari itu, aku pun ikut abang ke Jakarta, mulai tinggal di sana sampai SMA kelas sepuluh.
Hubungan aku dan Adi berjalan mulus sampai sembilan tahun lamanya, kira-kira sampai aku kuliah semester tiga dan dia disemester akhir. Hubungan kita harus berakhir karena aku dan dia menjalani hubungan tanpa ada komunikasi lagi, monoton menjadi alasan untuk semuanya. Dan aku pun memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tak ada galau semua berjalan begitu saja, hari-hariku masih menyenangkan dan aku menikmati semua itu.
Beberapa tahun berlalu, aku mendengar berita kalau Adi sudah menikah dengan gadis keturunan Arab. Jelas saja, selepas kuliah, dia mendapatkan pekerjaan di Saudi Arabia tepatnya di kantor pertambangan minyak terbesar sedunia. Aku tak menyesal atas apa yang terjadi, doa ku semoga Adi dan keluarganya bahagia selalu. Aamiin
YOU ARE READING
Mei Septa
Non-Fictionmenceritakan tentang perjalanan hidup seorang wanita yang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri, menganggap yang terjadi adalah hal normal meski terbanting-banting